27 • Rindu Untuk Rayyan

1.3K 136 8
                                    

Matahari sudah menunjukkan sinarnya. Tapi, udara dingin kala itu membuat beberapa orang tetap berada di dalam rumah dengan selimut hangatnya. Begitu pula sosok gagah yang kini masih berada di balik selimut. Arnold, ia memilih untuk tetap berada pada tempatnya walau ia tahu kini sudah waktunya untuk bersiap untuk kerja. Pekerjaan semakin bertambah ketika ada tuduhan bahwa ayahnya meninggal bukan karena penyakit yang diderita. Ia semakin pusing memikirkan hal itu, bersamaan dengan istrinya yang tak pernah pulang sejak beberapa hari yang lalu. Meninggalkan Renand yang sudah mulai terbiasa tanpa adanya kehadiran Sasha.

Kali ini ia tak akan ambil pusing. Biarlah perempuan itu melakukan apa yang ia inginkan, selagi ia masih bisa. Mungkin saja, besok atau seterusnya Arnold akan bertindak kejam seperti ia memperlakukan Rayyan.

Arnold mendengus pelan ketika ia merasakan pergerakan di bawah selimut yang menutupi tubuhnya. Pergerakan dari anak kecil yang sudah bisa ia tebak siapa. Sosok kecil yang hampir genap lima tahun ini menjadi pelengkap dalam keluarganya yang memang tidak sempurna. Renand. Anak itu masuk ke dalam selimut kemudian dengan lucunya memeluk lengan sang ayah. Arnold tersenyum tipis ketika merasa geli dengan apa yang Ren lakukan. Bagaimanapun, ia tetaplah seorang ayah. Ia juga akan merasa bahagia melihat putranya berlaku demikian padanya.

Dan mungkin...Ray juga perlu kasih sayangnya.

Ia pura-pura menutup matanya ketika kepala Ren menyembul dari balik selimut. Kemudian dengan perlahan mengguncang lengannya.

"Papa...papa bangun dong..." Suaranya terdengar serak. Ia tahu anak itu baru saja bangun dari tidurnya.

"Papa..." Kini Arnold memilih untuk membuka matanya. Kemudian bersitatap dengan maniknya dengan jarak 30 cm.

"Kamu ngapain, hmm?!" Ren mengerjapkan matanya.

"Bangunin papa, kan udah siang. Masa papa gak mau kelja!" Arnold terkekeh mendengar suara menggemaskan anaknya.

"Papa berangkat agak siang, emangnya kenapa?! Kamu mau apa?!" Ren memeluk lengan papanya dengan kuat.

"Len mau pelgi sama kak San."

"Hmm, mau pergi ke mana emangnya?!"

"Len mau pelgi ke tempat kak Lay!" Arnold mengernyitkan keningnya. Lay siapa yang dia maksud?!

"Maksud Ren siapa?!" Ren mendengus kesal.

"Kak Lay, masa papa gak tau sama anaknya sendili! Kata kak San, kak Lay sakit. Len mau jenguk kakak!" Katanya. Dan kali ini membuat Arnold tersenyum tipis. Ia sudah lama sekali tidak mendengar kabar Ray. Ia tak pernah berfikir anak itu bisa sakit lagi setelah ia melihatnya terkapar tak berdaya di brangkar rumah sakit waktu itu.

"Emangnya, kak Ray sakit apa?"

"Len gak tau."

"Jangan sekarang ya..."

"Kenapa?! Papa gak sayang sama kak Lay? Papa gak mau liat kak Lay? Kakak sakit, pa... Len mau ketemu sama kakak!" Arnold menghela nafasnya. Anaknya yang satu ini bisa saja membuat dirinya membatu dengan segala pertanyaannya.

Dia mirip kakaknya...

"Oke, Ren boleh liat kak Ray. Asalkan Ren nurut sama kak Shan ya?! Terus nanti, pulangnya jangan sore-sore. Paham?" Ren berbinar.

"Ayay kapten!" Katanya sambil menunjukkan sikap hormat. Perlahan dia bangun dari tempat tidurnya. Kemudian menggendong Ren untuk diberikan kepada pembantu. Ini sudah waktunya mandi. Namun, ketika ia melangkahkan kakinya keluar dari pintu, yang ia dapati adalah Shan yang tengah menunggu di depan pintu.

"Shan, mau apa?!" Shan tidak buru-buru menjawab. Beberapa detik berlalu, Shan masih menatap manik legam itu.

"Shan nunggu Renand, ini waktunya buat dia mandi."

Kata Rayyan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang