28 • Candu Dalam Kelam

1.2K 147 10
                                    

Arnold duduk di atas sofa dengan resah. Sebelumnya, ia tak pernah segugup ini. Hanya untuk menemui anak sulungnya yang hingga detik ini dia belum juga menampakkan batang hidungnya. Tenang saja, dia laki-laki yang sabar. Hingga tengah malam pun Arnold akan tetap menunggu.

"Om beneran udah nggak apa-apa?! Sekarang om udah nyesel?!" Pertanyaan itu berasal dari Rion yang tengah duduk di hadapannya. Untuk ukuran anak remaja, Rion cukup berani untuk menatap Arnold dengan tatapannya yang tak kalah menakutkan.

"Kamu nggak percaya?! It's okay, saya nggak butuh kepercayaan kamu. Saya cuma mau liat gimana keadaan Ray sekarang."

"Oh, gitu?! Tapi aku ngiranya om bakal buat Ray jadi kaya dulu." Arnold diam. Mengingat kembali saat ia melampiaskan kekesalannya pada Ray. Berakhir dengan Ray yang mengalami luka lebam di tubuhnya. Dia terdiam dalam lamunannya. Berada di hadapan Rion seperti menghadapi klien yang susah untuk di ajak kompromi. Bahkan ia belum pernah berhadapan dengan orang yang seberani anak ini. Arnold cukup kagum dengan anak saudaranya ini.

"Tadi Renand ke sini?" Arnold bertanya dengan lirih. Dan hanya dijawab anggukan oleh Rion.

"Kapan mereka pulang?"

"Sore tadi, kenapa memangnya?!" Tanya Rion dengan nada mengintimidasi.

"Tidak. Saya kagum dengan kalian, kalian menjaga anak-anak saya dengan baik."

"Kami berusaha sebaik mungkin." Kata Rion. Namun, setelahnya ada jeda yang cukup panjang di antara keduanya. Sunyi itu membuat mereka kembali berkelana dalam pikiran masing-masing.

"Apa kamu merasakan perbedaan dari Rayyan saat ini?" Rion menatap Arnold lekat lekat. Rion tidak tau kenapa Arnold tiba-tiba bertanya demikian. Tapi ia juga tidak ingin mengatakan bahwa jawaban dari pertanyaan itu adalah "iya". Mulai dari temperamen Rayyan yang naik turun, atau dengan sikapnya yang tak seperti dahulu. Ia masih ingat bagaimana anak itu berdebat dengan Shan, dan berakhir dengan tamparan keras yang jatuh pada pipi tirusnya. Arnold benar, Rayyan kini sudah berubah.

Sedangkan di dapur, Nia tengah berbicara pada seorang dari telpon. Jujur saja berdebat dengan orang di sebrang sana sungguh melelahkan. Ia heran, bagaimana bisa ia menikah dengan sosok Abra yang dulu sering menjadi saingannya.

"Dia datang setelah sekian lama mengabaikan Rayyan. Dan sekarang, aku mau terima gitu aja?! Kamu jangan bercanda..." Nia meremat ujung bajunya. Kesal dengan laki-laki itu.

"Dia juga manusia, pasti bisa berbuat salah sama siapa saja. Kamu mau dia jadi ayah yang sempurna seperti malaikat?! Sekarang kamu tidur, nikmati mimpimu!"

"Bodoh!! Dia pernah memukuli anaknya dengan dalih yang nggak masuk akal!"

"Kita juga ninggalin Rion dalam waktu yang cukup lama."

"Itu berbeda!!"

"Itu sama saja. Kita nggak tau gimana Rion berkembang. Dia jadi manusia batu itu karena dirimu!"

"Mulutmu mau disumpal pakek kertas semen atau kertas nasi?!! Sekarang kamu malah nyalahin aku karena buat Rion jadi anak yang kaya kamu?!! Ini pasti gara-gara sikapmu yang nggak terlalu peduli..."

"Iya, untung saja dia mirip aku. Syukurnya nggak mirip kamu, kalau Rion mirip kamu pasti dia udah ada di kebun binatang. Pasti dia dikira gorila karena sering marah-marah kaya kamu!"

"Suami nggak tau diuntung!!"

"Iya, suami yang tampan dan mempesona, itulah aku! Dan soal Arnold, biarkan dia ketemu sama anaknya. Dia juga seorang ayah, ketika ia bilang rindu dengan terang-terangan kamu juga tau apa artinya. Toh, kalaupun aku ada di posisi dia aku juga bakal lakuin hal yang sama."

Kata Rayyan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang