25 • Didekap Oleh Gelap

1.2K 125 3
                                    

Remaja itu masih diam ketika ada seseorang yang menelpon ponselnya. Semua terlihat abu-abu ketika suara dari sebrang sana mengatakan bahwa sahabatnya sudah berpulang dengan cara yang sangat mengenaskan. Sam terdiam cukup lama, hingga ia tersadar saat Karel mengguncangkan tubuhnya dengan kuat. Tidak dipungkiri bahwa Karel-pun juga merasa khawatir dengan adiknya itu.

"Lo jangan gini, gue khawatir kalau lo jadi kaya gini!" Katanya sambil mengusap punggung Sam. Tapi Sam hanya diam, kemudian mengangguk kecil pertanda bahwa remaja itu mendengarkan apa yang Karel ucap. Ia hanya terkejut, bagaimana bisa?!

Mereka bersahabat memang belum lama. Mereka pergi janjian-pun juga bisa dihitung dengan jari saja. Tapi, ada sesak yang datang dengan tiba-tiba. Membuatnya sedikit terguncang.

"Karel..." Karel memperhatikan dengan raut khawatir. Ia yakin belum pernah melihat adiknya itu seserius ini. Ia tahu, bahwa hatinya sedang terguncang. Tatapnya saja sudah mengatakan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.

"Gue mau liat Rean..." Katanya.

"Yakin lo nggak apa-apa?!" Sam kembali diam. Ia butuh waktu sejenak untuk menenangkan pikirannya. Ada jeda yang cukup lama untuk bisa mengetahui apa yang akan dikatakan Sam setelahnya.

"Gue mau liat Rean..." Dan hanya itu yang bisa dia katakan.

❄️❄️❄️

Sebelumnya, Rion tidak akan pernah takut jika berhadapan dengan apapun. Bahkan ketika mama papanya sering meninggalkannya seorang diri, dia bahkan tidak terlihat peduli. Tapi, kali ini berbeda. Jika menyangkut dirinya, ia akan tetap bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Namun, ini soal Rean. Orang penting yang punya tempat paling lebar di hati seorang Rayyan.

Bagaimana ia akan mengatakannya. Di tengah kerumunan itu, ia berlari. Menyambar sebuah kertas yang terletak tak jauh dari tempatnya. Sudah ternoda oleh darah, tapi tak membuat tintanya luntur begitu saja. Ia tak peduli dengan teriakan orang-orang yang terkejut akan aksinya. Ia hanya ingin memastikan. Bahwa itu bukanlah milik Rean.

Tapi Rion terpaku lebih lama ketika melihat kata yang tertulis dengan cetak tebal menggunakan huruf kapital. SURAT KETERANGAN HASIL UJIAN NASIONAL. Dengan dua kata setelahnya yang jelas terpampang. REAN RIGELIO.

Kali ini, pikirannya benar. Ini milik Rean. Bahkan saat ia di tanya oleh salah seorang petugas kepolisian karena tindakannya, ia masih mematung di tempat. Yang dia pikirkan saat ini hanya dua nama. Rean dan juga....

Rayyan.

🕊️🕊️🕊️

Setelah perdebatannya dengan Ray, Sean kembali mengikuti langkah remaja yang lebih muda setahun dengannya itu. Ada sesal yang kembali menggelayuti hatinya. Harusnya ia tak berkata sedemikian terhadap seorang yang jelas-jelas ia tak tau kebenaranya. Mungkin benar Sean tau tentang semua masalah yang tadi Ray sebutkan. Tapi, untuk masalah baru yang Ray katakan, ia benar-benar tidak tau.

Langkah Ray terhenti ketika ia merasakan letih pada kakinya. Menetralkan deru nafasnya yang berpacu dengan konstan.

"Ngapain ikutin gue?! Gue tau jalan pulang, kok. Kak Sean tenang aja!" Katanya. Sambil memunggungi Sean. Tapi jelas terlihat oleh pancaran matanya, bahwa kini anak itu sedang terguncang batinnya.

"Gue minta maaf...Sekarang, gue anter lo sampai apartemen!"

"Nggak usah, gue pengen sendiri. Kak Sean lanjutin aja kegiatan yang lain. Gue ngrepotin, 'kan?!" Sean berdecak. Harusnya ia tau, bahwa adiknya yang satu ini berbeda. Ia hanya lebih peka dari yang lain.

Kata Rayyan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang