Ini masih sangat pagi untuk memulai hari. Tidak akan ada yang bisa menahan dinginnya udara dengan baju lengan pendek yang tipis. Kecuali seorang yang kini berjalan menyusuri trotoar yang sepi, dan bahkan tidak ada siapapun yang ia jumpai.
Rean memang seorang yang selalu seperti ini, pergi pagi-pagi hanya untuk menikmati dinginnya udara dan jalanan yang masih sepi. Bukan berarti ia ingin sendiri, tapi ia hanya butuh menenangkan pikirannya dari banyak hal yang selama ini ia pikirkan disetiap waktunya. Hal itu membuat waktu tidurnya berkurang dan juga jangan lupakan berat badannya yang makin berkurang. Dia harus mengalah untuk adik-adiknya yang memang belum tau apa-apa tentang hal semacam ini.
Mungkin saja...setelah lulus nanti, ia tak akan bisa melanjutkan sekolahnya. Memang terdengar sangat sederhana, tapi sekolah adalah satu-satunya hal yang bisa Rean lakukan. Satu-satunya hal yang membuatnya jadi seorang anak yang berguna. Karena di sana, walaupun ia tak memiliki begitu banyak teman ia bisa belajar tentang kehidupan yang sebenarnya. Tentang Dion yang baru-baru ini bisa ia ajak bicara, dan juga Samuel yang akhirnya bisa menjadi temannya.
Di sana ia bisa mendapatkan itu semua, tapi bagaimana jika semua itu berakhir dengan dirinya yang memang tak bisa melakukan apa-apa?!
Apakah semua akan berakhir begitu saja. Dan keadaan kembali ke titik nol, di mana mereka tidak pernah saling mengenal.
"Aku harus apa?!" Semuanya terlihat begitu sulit. Pandangannya kosong, tapi langkahnya tetap konstan. Ia tak tau harus melangkah kemana. Ia hanya mengikuti jalanan yang terbentang lurus entah menuju wilayah mana.
"Heh, bocah!" Suara itu terdengar familiar. Saat yang tepat untuk mengembalikan moodnya.
"Eh, Dion! Tumben banget pagi-pagi udah di sini. Mau ngapain?!" Rean berbalik. Menatap Dion dengan senyum ramahnya. Ia bisa bersikap seperti ini pada seorang yang dulunya berbuat seenaknya padanya. Itulah kelebihan Rean.
"Nggak apa-apa. Cuma mau jalan-jalan!" Katanya singkat. Ia melangkah maju, melewati tubuh Rean begitu saja. Tapi anak itu berusaha untuk mengimbangi langkah Dion.
"Lo ngapain di sini?! Pakek baju tipis kaya begitu apa nggak dingin?!" Rean terkekeh.
"Udaranya nggak sedingin tatapanmu kok! Tenang aja, aku udah temenan sama udara di sini!" Dion tersenyum. Tidak lama, sebelum jeda yang cukup panjang di antara keduanya. Sebenarnya Dion tidak tau topik apa yang selanjutnya akan ia keluarkan untuk mencairkan suasana. Dia bukan tipe orang yang banyak bicara pada keadaan seperti ini.
"Nggak terasa, minggu depan udah ujian. Mau nerusin kemana ngomong-ngomong?!" Rean tidak bisa menatap Dion. Ia takut akan ada pedih yang ia pancarkan dari tatapnya. Takut juga kalau ia dikira meminta bantuan pada si orang kaya di sampingnya.
"Ke tempat siluman kelinci!"
"Hahaha, ada dendam sama kak Ray ya?! Mau balas dendam atau apa?!"
"Gue?! Balas dendam?! Ck, gak ada kerjaan amat!! Gue itu orang sibuk, pagi, siang, malem udah ada jadwal! Dan untuk balas dendam sama si siluman kelinci itu, maaf aja. Buku agenda gue udah penuh!"
"Syukur deh kalau gitu!"
"Lo sendiri mau kemana setelah lulus ini?!" Ada jeda 8 detik sebelum Rean putuskan untuk menjawab.
"Aku nggak akan kemana-mana!"
"Maksud lo?!"
"Aku nggak akan lanjutin sekolah!"
Langkah Dion terhenti. Ia berharap apa yang ia dengar hanyalah sebuah lelucon yang keluar dari mulutnya. Bukan sebuah kebenaran untuk ia percaya. Putus sekolah?! Lantas ia akan jadi apa?! Cari kerja?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kata Rayyan ✓
Teen FictionKehidupan sempurna di dalam keluarga adalah hal yang selama ini Rayyan damba. Tidak perlu seperti keluarga orang ternama, yang disorot banyak kamera dan bergelimang harta. Rayyan hanya ingin bahagia dengan cara sederhana. Namun keluarga besarnya mem...