Rion mulai mengerjap ketika cahaya dari luar menerpa wajahnya. Ia masih ingin tidur, mungkin satu jam lagi bisa membuat rasa kantuknya hilang. Ia menaikan selimutnya, berusaha untuk menghalangi cahaya matahari.
"Rion, ini udah jam tujuh!! Lo nggak ada niatan buat sarapan gitu?!" Rion hanya berdeham. Ia benar-benar masih mengantuk.
"Di dapur ada mi instan... Lo buat aja sendiri!" Katanya. Ray hanya berdecak pelan. Rion kalau sudah tidur tidak pernah bisa diganggu gugat. Dia akan bangun hanya jika ada Nia yang meneriakinya, atau suara nyanyian Karel yang memekakkan telinga.
"Okelah, gue nggak tanggung jawab ya kalau pas lo bangun nanti dapur udah tinggal abu!" Katanya sambil berlalu. Rion hanya berdeham. Tidak mungkin dia membakar dapur begitu saja, 'kan?! Baru saja Ray berlalu dari tempat Rion, terdengar suara benda jatuh dari dapur. Seketika, Rion membuka matanya. Terperanjat dari tempatnya, dan pergi berlari ke arah dapur. Takut anak itu benar-benar akan membuat apartemen ini terbakar.
"Lo ngapain sih?!" Teriak Rion ketika mendapati banyak mi instan berserakan di atas lantai. Ray mendengus kesal. Jangan salahkan dia, mi instan itu terlalu tinggi untuk ia gapai. Lalu ia menarik apapun yang ia pegang, berharap ia bisa mengambilnya tanpa ada keributan yang terjadi setelahnya. Namun, nyatanya tidak. Kini ia malah disuguhi omelan Rion yang tiada hentinya.
"Jangan salahin gue, tadi kan gue udah bilang. Gue nggak bakat buat tampil di dapur." Katanya sambil memunguti mi instan yang berceceran di atas lantai. Kali ini, mau tidak mau Rion harus menuruti permintaan Ray. Ia tidak bisa masak, satu-satunya yang bisa ia sajikan adalah mi instan.
"Gue cuma mau lo nurut sama gue, apa susahnya sih kunci pintu sama jaga diri?! Nggak bakal buat lo jatuh miskin. Nggak juga buat lo lumpuh seumur hidup. Tapi herannya, lo nggak pernah nurut sama gue! Kurang baik apa sih gue ini buat lo?!" Ocehnya pada remaja yang kini duduk didepan meja makan. Ray hanya mendengarkan.
"Gue emang bodoh, semalem aja..." Ray menghentikan Kalimatnya. Ia baru teringat akan konsekuensi yang harus dibayar ketika ada orang tau tentang kejadian tadi malam.
"Apa?! Semalem lo kenapa?!" Rion kini menoleh pada Ray yang membeku di tempatnya.
"Bukan, kemarin gue kepleset di kamar mandi. Basah semua baju sama rambut gue!"
"Emangnya, lo keplesetnya gimana?! Sampai basah dari ujung kepala, emang lo nyemplung di bathtub?!!"
"Kalau gue bilang iya, lo pasti ketawa!"
"Gue nggak bakal ketawa, apalagi lo tidur tanpa keringin rambut! Gue lagi yang kena kalau lo sakit nanti! Coba dong, lo itu kan udah gede! Yang ada disini gue yang jadi kakak lo, bukan lo yang jadi kakak gue!"
"Terserah gue, dong!" Rion hanya menghela nafas dengan kasar. Ray tetaplah orang yang sama. Dengan keras kepalanya. Rion hanya berharap agar ia bisa hidup dengan anak itu lebih lama lagi. Beberapa saat kemudian, Rion menyodorkan semangkuk mi instan di hadapan Ray.
"Makasih" Rion hanya berdeham. Kemudian mulai menyantap makanannya.
"Rion..." Rion menghentikan segala pergerakannya. Mulai menatap anak itu yang kini terdiam sambil menatap mangkuk di atas meja.
"Gue sakit. Karena mereka..."
"Apa?!" Suara Rion membuatnya tersadar. Kalau ia benar-benar tidak bisa mengatakannya. Jika ia bisa merasa sakit, tanpa ada mereka yang terluka, Ray siap melakukan apa saja.
"Nggak, cuma mau panggil aja!" Katanya dengan memamerkan senyum selebar yang ia bisa. Tapi, Rion bukan anak bodoh. Ia tau anak itu sedang merahasiakan sesuatu darinya.
***
Tidak ada hari yang Rion suka kecuali hari Minggu. Ada banyak alasan kenapa ia menyukai hari itu lebih dari lainnya. Salah satunya adalah waktu dimana ia bisa tidur sepuasnya. Tanpa ada Omelan Nia atau Ray yang mengganggu telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kata Rayyan ✓
Teen FictionKehidupan sempurna di dalam keluarga adalah hal yang selama ini Rayyan damba. Tidak perlu seperti keluarga orang ternama, yang disorot banyak kamera dan bergelimang harta. Rayyan hanya ingin bahagia dengan cara sederhana. Namun keluarga besarnya mem...