3• Ayah dan Rasa Sakit

3K 300 12
                                    

Suara senyap sedari tadi merambat di seluruh udara dalam ruangan tersebut. Tidak ada yang ia lakukan kecuali merutuki mulutnya yang tak bisa diam. Harusnya ia tidak mengatakan apa-apa, mungkin tidak makan untuk beberapa saat. Setidaknya tidak sebelum ia meminum obat maag, seperti yang bundanya biasa berikan.

Rayyan kini tengah memijit ujung hidungnya. Rasa pusing yang tiba-tiba datang itu pasti karena makanan yang baru saja ia muntahkan. Beberapa saat ia merasa perutnya bergejolak hingga akan mengeluarkan apapun yang ia telan sampai habis tak bersisa. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Shan dan Sam. Lantas, dia bersikeras meminta dua orang itu pergi dari sini sebelumnya. Walau berat, dua orang itu akhirnya mau pergi dari sana. Meninggalkan Ray sendirian dengan sakitnya.

Kini wajahnya pucat, makanan yang bahkan baru saja ia masukkan beberapa suap kedalam mulutnya ternyata menolak untuk tinggal lebih lama. Makanan itu bahkan masih terlihat utuh. Ia belum menikmati rasanya. Langkahnya diseret-seret. Berjalan ke kamar mandi serasa berjalan di atas tol Cipali. Ia kembali memuntahkan apa yang ada di dalam perutnya. Walau hanya cairan bening yang ia lihat. Tubuhnya lemas, dengan merangkak ia berusaha untuk menaiki ranjang. Mungkin tidur sebentar akan membuat perutnya lebih baik.

"Bunda...perut Ray sakit. Tapi Ray nggak mau ngrepotin kak Shan dan yang lainnya...bunda, kaya gini ya rasanya saat bunda telat makan seperti waktu itu...?! Maafin Ray ya, bun..." Katanya lirih, perlahan menutup matanya. Tidak tau apakah ia terpejam karena tidur atau karena hal lain.

***

Kensie baru saja menyelesaikan semua tugas-tugasnya. Ia ingin meregangkan tubuhnya dengan berjalan-jalan sebentar. Setidaknya ia ingin melihat keadaan Ray sebentar. Ia belum sempat bercakap-cakap padanya dua hari ini, tugasnya sebagai anak SMA tingkat akhir juga sangat memberatkan. Apalagi, ayahnya menuntut Kensie untuk jadi yang terbaik saat ujian nanti. Sungguh merepotkan.

Kensie berdiri di depan pintu kamar Ray. Sedikit ragu untuk mengetuk pintu. Tapi dia memberanikan diri, toh dia disini juga sebagai kakak. Ia tau, selain Shan dia juga yang paling tua. Tidak salah kan, seorang kakak memastikan adiknya baik-baik saja?! Setelah beberapa kali ia mengetuk pintu, tidak ada jawaban dari dalam. Ia langsung saja masuk, karena pintu tidak dikunci.


Kensie melihat sosok Ray tengah terlelap di atas ranjang. Bukan ketenangan dan kedamaian yang ia tangkap dari wajah sendu itu. Nafasnya tersengal-sengal, keringat di dahinya sudah cukup membuktikan bahwa Ray tidak baik-baik saja. Kensie menggeleng pelan. Buru-buru ia melangkah mendekatinya, memegang dahi Ray. Hanya hawa dingin yang membuat keringatnya terus menerus keluar dari dahinya.

Kensie menggoyang-goyangkan tubuh kecil dan ringkih tersebut. Berharap Ray akan bangun dan menjawab panggilannya. Mata sipit itu terbuka, terlihat dari sorot matanya jika ia tengah menahan rasa sakit.

"Ray, kamu sakit?!" Ray hanya diam. Bahkan sekarang hanya menjawab 'iya' pun terasa sulit. Tenggorokannya mengering, suaranya terasa serak.

"Aku panggilkan dokter sekarang!" Kensie bangkit, tapi langkahnya ditahan dengan cekalan tangan Ray.

"Kak...Ray nggak apa-apa. Tadi cuma telat makan...uhuk...uhuk...uhuk..." Ray bangun dari tempat tidurnya, menutup mulutnya yang kini terus terbatuk. Kensie terlihat panik, tidak ada minuman apapun di kamar ini selain minuman seperti teh di atas meja. Kensie meraih minuman itu dan meminumkannya pada Ray yang masih terbatuk-batuk.

Nafas Ray tak beraturan, sedangkan Kensie mengelus punggung remaja 16 tahun tersebut dengan lembut. Berharap batuknya akan membaik. Tapi tetap saja, bukannya membaik tapi malah tubuhnya semakin lemas. Tubuh Ray meluruh kedalam dekapan Kensie, tidak mendengar suara kakaknya itu memanggilnya dengan lantang. Ataupun suara derap langkah kaki yang mulai memenuhi ruangan itu. Kini hanya gelap dan juga telinganya yang berdenging keras. Dan saat itulah Kensie menyadari bahwa Ray sudah kembali terlelap dengan rasa sakitnya.

Kata Rayyan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang