30 • Perhatian yang Tak Diinginkan

1.7K 151 6
                                    

Siang itu, Karen datang dengan Dinan dan Septian. Diiringi dengan debar jantung setiap orang. Rayyan menjelaskan apa yang terjadi dengannya hingga ia bisa tertekan sedemikian rupa. Nia hanya bisa memegang tangan remaja itu agar ia tetap bisa melanjutkan kalimat selanjutnya. Membuatnya untuk kembali percaya dengan ayah dan paman-pamannya. Agar bisa membuat tindak lanjut yang tepat. Tentang dirinya yang telah dihajar oleh orang asing di apartemen, menyuruhnya untuk meminum minuman pahit dan juga puluhan pil putih. Tentang kematian Rean dan juga kakeknya. Ia tau dari pesan-pesan teror yang Sasha kirimkan padanya. Ia tak bisa melakukan apa-apa selain menuruti kemauan wanita itu. Hal ini ia lakukan demi keselamatan saudara-saudaranya yang lain.

"Terima kasih telah mengatakannya, kamu bisa istirahat di sini dengan tenang. Soal yang lain, om pastikan mereka aman sekarang!" Kata Karen sambil melangkahkan kakinya keluar ruangan. Setelah ia mendengar apa yang Ray jelaskan, ia sudah tau harus melakukan apa. Ia harus bertindak cepat, sebelum Sasha membuat pergerakan lain lagi.

"Mereka akan baik-baik saja kan, yah?!"usia Arnold mengangguk.

"Mereka akan baik-baik saja, serahkan sama dia! Dulu dia pernah jadi kandidat polisi, tapi gagal karena kurang tinggi!" Katanya sambil menunjuk Karen yang sudah tak dapat ia lihat kembali punggungnya. Ray mengulas senyum.

"Lakukan yang terbaik!" Arnold mengangguk. Begitupula dengan Dinan dan Septian. Mereka salah menganggap anak di adalah sebuah beban. Nyatanya, remaja ringkih itu berusaha mati-matian melindungi saudaranya yang lain walau tau apa yang ia perbuat bisa berakibat fatal di tubuhnya.

"Jaga tubuhmu Rayyan! Sudah cukup kamu korbankan tubuhmu untuk saudara-saudaramu yang lain!" Ray hanya tersenyum ketika mendengarnya dari mulut Septian. Ia tidak begitu akrab dengan om-nya yang satu ini. Septian yang enggan bicara dengannya.

"Semuanya akan berakhir. Terima kasih, Rayyan!"

🍀🍀🍀

Di rumah. Terasa sepi karena hampir semua orang tengah berada di luar. Di dalam, tidak ada suara anak kecil yang biasanya terdengar di rumah orang normal yang memiliki anak balita. Ren cukup paham bagaimana permasalahan keluarga mereka yang kian memuncak, walau ia sendiri masih terbilang cukup muda. Ren tau bahwa papa dan mamanya punya masalah, karena itu mereka tidak pernah terlihat bersama. Ia juga tau masalah kakaknya, Rayyan. Mendengar bagaimana Ray berteriak seolah dia melakukan hal yang benar, dan juga Shan yang tak mau terima. Berakhir dengan pertengkaran keduanya yang bisa Ren dengar dengan jelas waktu itu.

Dia takut. Dia sangat takut akan kehilangan lagi. Ia tak takut kehilangan Sasha, walaupun ia tau dia ibu kandungnya. Tapi kalau soal Shan dan kakaknya yang lain. Jangan tanyakan. Mereka yang merawat Ren selama ini, menjaganya, mengurusnya. Bahkan ketika ia merasa dunia tak memihaknya, ada saudaranya yang lain untuk menghibur. Tidak ada Sasha. Tidak ada mama. Sasha sama sekali tidak peduli dengan dirinya. Mungkin saja, perempuan itu lupa kalau punya anak bernama Renand.

"Ren, ayo makan! Kamu di mana?!" Lamunannya terhenti. Kala mendengar suara Shan memanggilnya. Ren keluar dari kamarnya, berlari ke arah Shan.

Hap...

Shan menangkap tubuh kecil itu pada tangannya. Tidak sulit untuk mengangkat tubuh Ren. Melihat anak itu tumbuh, ia jadi ingat dengan Ray. Ray itu kecil, lengannya seperti sapu lidi waktu mereka masih SD. Sering di ejek anak-anak lain, dan berbuah ia menangis seorang diri dalam kamarnya ketika sampai rumah.

"Kak San, aku mau ketemu kak Lay lagi!" Shan melangkahkan kakinya menuju meja makan. Menggendong Ren dalam gendongannya.

"Ha?! Tapi kemarin kan udah liat kak Ray, masa sekarang ke sana lagi?!" Terlihat wajah kecewa Ren akan jawaban Shan.

Kata Rayyan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang