29 • Ayah yang Selalu Ada

1.5K 131 4
                                    

Malam ini adalah mimpi buruk bagi Ray. Satu rahasianya terbongkar di depan ayahnya sendiri. Begitu pula dengan hubungan Rion dan Rayyan yang juga mulai merenggang karena pertengkaran terakhir mereka. Malam itu pula, Ferdinand datang dengan mobil super mewah miliknya. Membawa tiga orang di bangku bagian belakang. Arnold yang tetap mendekap anak sulungnya, dan juga Nia yang membawa baju ganti dalam ransel di tangannya. Jaga-jaga kalau saja mereka menginap malam ini. Sedangkan remaja itu masih diam di tempatnya. Tidak peduli bagaimana ayah dan om tantenya khawatir dengan keadaannya. Maniknya tetap menatap jalanan dari kaca dengan tatapan kosong. Sesekali berkata lirih, dan membuat Arnold dan dua orang lainnya mengernyitkan dahi.

"Aku nggak mau kaya Rean...Aku juga nggak mau bernasib seperti kakek..." Lirihnya. Tentu saja hal itu membuat banyak pertanyaan di setiap benak orang yang mendengarnya. Sedari tadi, Arnold mendengar kalimat lirih itu dari mulutnya. Sebenarnya, ia tidak tau siapa itu yang Ray sebut dengan Rean, dan apa yang terjadi dengannya. Tapi, mendengar dia menyebut kakeknya, Arnold yakin kematian ayahnya berhubungan dengan Rean dan juga Rayyan.

Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah menenangkan Ray di dengan kata-katanya. Jujur saja, ia ketakutan setengah mati ketika melihat Ray menelan belasan obat itu tanpa air. Mendengarnya berkata dengan keras seolah-oleh dia itu melakukan hal benar. Ia tak tau kenapa Ray bertindak seperti itu. Mungkin saja, Ray bertindak demikian karena dunia sedang tidak memihaknya. Arnold tidak pernah berada di posisi Ray saat ini. Walau terlampau dingin, dulu waktu seumuran dengannya, keluarganya masih utuh. Ayahnya adalah orang paling setia yang pernah ia kenal, berjanji pada ibunya akan tetap bersama hingga ajal menjemput keduanya.

Arnold tidak pernah mengerti bagaimana perasaan Ray yang ada di tengah-tengah kekacauan keluarganya. Dan itu semua adalah salah Arnold yang tidak bisa menjaga hatinya untuk satu orang.

Ah, andai saja ia memperlakukan Ray dengan baik dari dulu, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Tapi sudah terlambat. Berandai-andai saja tidak cukup untuk membalikkan keadaan. Lamunan Arnold buyar ketika mobil yang ia tumpangi berhenti di sebuah bangunan dengan latar cat berwarna putih. Mereka sudah sampai di rumah sakit.

"Ray...kita turun ya? Kamu nggak akan kenapa-kenapa, ada ayah, tante Nia sama om Dinan. Kamu pasti aman." Tapi kalimat Arnold tidak berarti apa-apa. Ray masih diam di tempatnya. Tidak bergerak ketika dia meminta untuk turun. Kemudian Ray menggeleng pelan, seperti seorang yang dalam keadaan terhipnotis. Pikirannya linglung, dan ia sendiri menolak untuk beranjak dari tempatnya.

"Ray nggak mau...Ray mau di sini aja..." Suaranya terlampau lirih. Tapi berhasil membuat Arnold dan Nia menghela nafas gusar. Melihat keponakannya, Dinan hanya menghela nafasnya. Kemudian melangkah keluar lebih dulu, disusul dengan Nia di belakangnya. Arnold tidak tau apa yang kakak dan kakak iparnya itu akan lakukan. Tapi beberapa manit kemudian, Dinan kembali bersama beberapa petugas medis. Dengan jarum suntik di tangan salah satunya.

Ray masih diam, ketika beberapa petugas itu menghampirinya. Ia tidak peduli apa yang akan mereka lakukan. Tapi, ia terkejut ketika jarum tajam itu mengenai lengannya. Kemudian, merasakan kesadarannya kian melemah. Tatapannya meredup, ia bisa melihat kegelapan yang semakin mendekat. Dan yang kini ia rasa hanya gelap.

Arnold mengepalkan tangannya. Melihat anaknya yang sudah tak sadarkan diri dipindahkan ke atas brangkar. Harusnya tidak seperti ini.

☘️☘️☘️

Rion merasakan letih pada kakinya. Berjalan cukup jauh untuk melampiaskan emosi. Syukur saja, dia tidak memukuli siapa saja yang ia temui. Ia menghentikan langkahnya. Mengambil jeda sejenak untuk menarik nafas dalam-dalam. Dia tidak ingat kapan ia semarah ini. Jujur saja, untuk kesalahan yang lain mungkin Rion akan memaafkan Ray. Tapi, untuk kali ini dia benar-benar tidak bisa. Ia tau bagaimana efek dari obat penenang itu. Melihat berbagai berita di layar kaca juga sudah cukup membuktikan bahwa obat itu memang memberikan efek penenang. Tapi, sekali kecanduan juga membuat penggunanya rusak jiwa raganya. Kini anak itu tidak bisa berfikir logis, namun beberapa saat kemudian ia menghela nafasnya.

Kata Rayyan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang