Ray...tenang! Nggak akan terjadi apa-apa...lo bakal aman sama gue! Gue janji nggak akan pernah tinggalin lo sendiri!" Hanya itu yang bisa ia katakan. Karena setelahnya, ia memang tidak bisa berkata apa-apa lagi.
"Lo marah sama gue!! Semua orang berantem gara-gara gue! Tante Sasha nggak suka sama gue... Dan sekarang Ayah emang bener-bener nggak pengen gue ada lagi..." Suaranya menggema di seisi ruangan.
"Gue capek! Gue nggak mau jadi beban orang lain! Tapi, saat gue mau pergi lo bilang gue egois! Sekarang gue tanya sama lo, siapa yang egois di sini?!"
Tatapan mata Ray berbeda dengan ia yang biasanya. Dia bukan lagi Ray yang cerewet dan banyak tingkah. Karena di sini, dia tau bahwa Ray yang sesungguhnya penuh dengan luka tak kasap mata.
Shan menatap dua orang yang masih pada tempatnya. Ada rasa geram ketika ia melihat Ray dengan keadaan yang sedemikian rupa. Langkahnya bahkan terdengar seperti suara raksasa yang siap menginjak siapa saja. Tapi di sini, Ray dan Rion sama sekali tidak bisa mendengar ada suara langkah seorang yang tengah naik pitam.
Shan menarik bahu Rion dengan kasar, menatapnya dengan tajam seolah ia bisa menghunuskan benda tajam ke bola matanya.
"Apa yang lo lakuin sama Ray?!" Sentak Shan dengan nada yang tak kalah mengerikan. Dia bahkan siap menghajar wajah Rion jika benar dialah yang telah membuat Ray ketakutan seperti itu.
"Gue tanya, apa yang lo lakuin sama Ray?!" Shan sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. Ia mencengkeram kerak baju Rion. Tapi Rion masih lah orang yang sama. Ia hanya diam sambil memandang Ray yang mengusap wajah basahnya.
"Gue nggak lakuin apa-apa..."
"Terus siapa?!! Di sini cuma ada lo!!" Rion menghela nafasnya. Kemudian ia menatap Shan.
"Kak, bukan gue yang buat Ray kaya begini!" Shan menghela nafasnya. Ia menurunkan tangan, dan berusaha untuk mengontrol emosi.
"Tadi gue liat om Arnold keluar dari sini, saat gue dateng Ray udah kaya begini." Shan memeluk tubuh Ray.
"Maafin gue, harusnya gue nggak pergi..." Sementara Ray hanya diam ketika Shan mengusap punggung dan kepalanya. Tidak ada yang bisa ia katakan.
"Ray..." Tidak ada sahutan ketika Shan memanggilnya. Ray hanya diam dengan tatap kosong yang selama ini belum pernah ia perlihatkan.
"Kak..." Shan dan Rion menatapnya, berharap anak itu bisa memberi penjelasan tentang apa yang terjadi padanya.
"Gue nggak mau ngomong sama kalian berdua!"
***
Ruangan ini kini terasa sangat sepi. Hanya Shan yang tersisa. Sedangkan kini, ia sibuk dengan ponsel miliknya. Membuat keduanya di halangi oleh jeda 10 menit dengan senyap dan hampa.
"Kak..."
"Hmm, apa?!"
"Kakak chat sama siapa?! Kok asik banget?! Sampai gue nggak di ajak ngobrol!"
"Hahaha, ngobrol apa?! Kita udah ngobrol panjang lebar tadi. Masih ada yang mau diobrolin, hmm?!"
"Kakak punya pacar ya?!" Shan terkekeh mendengar pertanyaan itu. Bahkan ia sudah mendengar pertanyaan itu dari Kensie, Karel, Sam, Sean dan bahkan Rion. Sudah genap adik-adiknya bertanya tentang hal yang sama sebanyak 6 kali.
"Pacar gue banyak! Sejak SMP gue udah punya banyak gandengan. Jadi jangan heran kalau SMA gue udah punya pacar belasan!"
"Wah, kakak hebat ya?! Sampai segitunya cari jodoh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kata Rayyan ✓
Teen FictionKehidupan sempurna di dalam keluarga adalah hal yang selama ini Rayyan damba. Tidak perlu seperti keluarga orang ternama, yang disorot banyak kamera dan bergelimang harta. Rayyan hanya ingin bahagia dengan cara sederhana. Namun keluarga besarnya mem...