23• Pil dan Minuman Pahit

1.4K 129 2
                                    

Rion berjalan dengan lambat hari ini. Bukan berarti ia menikmati segala apa yang ia lihat di samping kanan atau kirinya. Tapi, kini ia merasa lelah. Lelah hanya untuk berjalan dari lapangan basket menuju kelas, untuk menghampiri anak kelinci yang ia tinggal sejak pulang sekolah, sekitar 1 jam yang lalu.

Sebenarnya, ia juga menyadari perbedaan sikap Ray sebelum dan sesudah kepergian kakek. Anak itu tak secerewet biasanya. Hanya saja akhir-akhir ini, Ray aktif sekali dalam kelas. Biasanya ia akan diam dan memperhatikan ketika guru mengajar. Tapi ia sering bertanya, dan sekaligus bisa menjawab pertanyaan guru dengan mudahnya. Ah, lupakan tentang keaktifan Ray di kelas. Harusnya ia khawatir dengan anak itu.

"Hei..." Suara itu terdengar asing. Tapi ia yakin, di sana hanya ada dirinya. Ia menghentikan langkahnya, kemudian menoleh kearah suara yang baru saja ia dengar.

"Lo sodaranya si bugenvil kan?!" Rion mengerutkan dahinya. Ada yang aneh.

"Bang Erik, kan?!" Erik hanya berdeham untuk mengiyakan pertanyaan Rion.

"Lo itu sodaranya si bugenvil itu kan?! Sering banget gue liat lo sama dia!" Rion mengerutkan keningnya.

"Emm, bugenvil siapa, bang?!" Erik menepuk jidatnya.

"Maksud gue si cerewet itu, yang punya wajah kaya bayi, dia adek lo kan?!"

"Bentar bang, adek?! Gue cuma punya dua adek. Yang satu baru selesai ujian di SMP terus yang satu lagi baru umur 5 tahun. Yang abang maksud yang mana?!"

"Bukan...yang itu loh, si cerewet! Si anak baru!" Rion menghela nafasnya ia tau siapa yang Erik maksud. Pasti dia adalah Ray. Sudah berapa kali ia di anggap lebih tua daripada Ray. Jelas-jelas anak itu terlihat lebih tua darinya, iya kan?!

"Maksud abang Ray?!"

"Nggak tau gue namanya."

"Terus, kenapa soal Ray bang?!"

"Cuma mau bilang aja, jaga sodara lo itu baik-baik. Gue sering liat dia ngelamun di toilet sendirian, takutnya itu anak kesurupan!" Suara Erik terdengar ramah. Bahkan terdengar lebih akrab daripada kelihatannya. Sedangkan Rion masih diam, ia sering melihat Ray pergi ke toilet sendirian. Tapi tidak menyangka kalau anak itu lebih tertekan daripada yang ia duga.

"Gue mau balik, duluan ya!" Rion hanya mengangguk, melihat punggung Erik semakin menjauh. Kemudian pikirannya kembali pada sosok yang menjadi topik pembicaraan dengan kakak kelasnya itu. Bahkan kini, langkahnya terasa sangat ringan. Hanya untuk mencari tau, Ray masih ada di kelas untuk menunggunya seperti yang ia katakan beberapa waktu lalu.

Langkahnya terhenti didepan sebuah kelas yang sudah sepi. Hanya ada suara musik berasal dari benda persegi di atas meja. Milik seorang remaja yang kini terlihat tidur dengan pulasnya. Dan ia bersyukur anak itu masih setia menunggu.

"Ray...bangun!" Serunya dengan lirih sambil menggoyangkan lengan remaja itu dengan perlahan.

***

"Ray, lo nggak mau kemana-mana kan?!" Suara Rion kembali terdengar ketika ia sudah mengenakan baju rapi, sambil mengenakan masker hitamnya.

"Gue nggak akan kemana-mana, kemarin rencananya mau ketemuan sama Rean. Tapi tadi kata Sam sekarang dia lagi nggak bisa!" Jawab Ray seadanya. Dipandangnya Rion dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Kayanya lo deh yang mau keluar, mau kemana?"

"Mau pulang. Di rumah ada urusan sebentar, lo bisa kan di rumah sendiri?!"

"Gue ikut deh...!"

"Nggak usah, ini demi keluarga kita. Demi lo juga, jadi lo di sini aja. Gue nggak akan lama, pasti nanti habis Maghrib pulang!"

Kata Rayyan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang