Sebelumnya suasana kelas tidak pernah sebosan ini. Sean tau bagaimana cara agar orang-orang di sekelilingnya tersenyum atau bahkan sampai tertawa melihat tingkah lakunya. Walau ia sendiri mengakui bahwa ada jarak tak kasat mata pada orang-orang yang dia kenal. Kecuali pada seorang yang memang ia kenal. Dengan sangat baik. Dan Sean tidak pernah ragu mengakui bahwa Vier adalah satu-satunya teman yang ia percaya.
Tapi kini, ia merasa ada yang berbeda dengannya. Ada sesuatu yang ia tak tau sebelumnya. Dan hal itu membuat Vier terganggu, hingga enggan untuk bercakap-cakap seperti yang biasa mereka lakukan. Setidaknya itu yang Sean pikirkan. Jujur, dia bukanlah seorang yang cerdas hingga bisa menebak-nebak apa alasan anak itu berubah. Karena ia tidak pernah percaya pada teori, kalau bukan hanya sebatas keharusan yang ia ikuti untuk belajar sehari-hari. Bisa saja apa yang ia pikirkan saat ini jauh berbeda dengan kenyataan yang ada.
Sean menatap seorang yang sibuk dengan buku bacaannya. Tidak peduli sekencang apa anak-anak perempuan didepan sana tengah membicarakan artis K-Pop yang mereka idolakan sambil berteriak histeris. Ia juga mengabaikan setiap teriakan nyaring dari seorang dari sebrang sana, mengajak mereka untuk bermain basket di luar.
"Hah, lo kenapa?!" Suara itu keluar dari mulut Sean begitu saja. Mungkin ia tak begitu suka dengan keadaan yang memaksanya untuk diam, tanpa tau apa alasannya.
"Gue lagi baca!" Jawab anak itu dengan seadanya.
"Gue nggak pernah liat orang baca daftar isi sampai 15 menit." Vier langsung menggelengkan kepalanya. Mencoba untuk sadar, dan menutupi sikap anehnya dengan membalik halaman selanjutnya, tanpa ada niat untuk kembali bercakap dengan Sean, lagi.
"Lagian, gue nggak tau sekarang lo suka sama pelajaran fisika?!" Vier mendengus pelan.
"Bentar lagi mau ulangan, gue cuma persiapan!"
"Kesurupan jin apaan sih lo itu?! Dari SMP sampai lo udah renta kaya gini, gue baru liat lo mau persiapan buat ulangan Minggu depan! Biasanya juga SKS, sok-sokan mau belajar!" Vier tidak menanggapi lagi. Ia ingin diam hingga Sean lelah untuk kembali membuka percakapan diantara mereka.
"Emang lo punya masalah?"
"Bilang kek sama gue!"
"Gue bisa bantu mungkin!"
"Tapi kalau gue nggak bisa bantu, gue bakal doain masalah lo cepet kelar kok!"
"Lo putus sama pacar ya?!"
"Lo habis di omelin Nisha gara-gara bagun telat?!"
Lagi-lagi, anak itu hanya diam. Apapun topik dan pertanyaan yang Sean lontarkan. Apa yang Sean katakan tidak berpengaruh. Dan ia masih diam layaknya tunawicara. Dengan seribu alasan yang akan selalu mendukungnya hingga Sean berhenti untuk bertanya.
Gue nggak bisa jaga kepercayaan lo sama gue. Maaf...
"Lo nggak mau ke kantin?! Gue yang bayar, deh!" Vier masih tidak bergeming. Dan hal itu membuat Sean kembali bertanya-tanya, mengapa?! Dia tak pernah berlaku sedemikian rupa, dan kini anak itu malah membuat Sean semakin menerka-nerka.
"Ini ada hubungannya sama gue? Sama keluarga gue?! Lo punya masalah sama abang-abang gue, atau adek-adek gue?!" Anak itu masih diam. Dan kini Sean sudah menyerah. Lebih baik ia tidur dan mengabaikan keheningan yang membuatnya frustasi. Ia sudah lelah menghadapi Vier.
"Kak Sean!" Ia kembali mengangkat kepalanya, dan menatap seseorang yang tengah berdiri di ambang pintu kelas. Ada sedikit binar dari pandangan yang ia pancarkan. Bibirnya perlahan ia tarik, untuk membuat Ray nyaman ketika mereka bicara. Tanpa tau, bahwa ia sedang dalam mood yang cukup buruk.
"Kak, aku mau ngomong!" Katanya dengan suara lirih, namun berhasil membuat Sean bangkit dari tempatnya. Kemudian menghampiri sosok tersebut dengan langkah cepat. Tidak ingin seorang yang memanggilnya menunggu lebih lama dengan wajahnya yang masih pucat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kata Rayyan ✓
Teen FictionKehidupan sempurna di dalam keluarga adalah hal yang selama ini Rayyan damba. Tidak perlu seperti keluarga orang ternama, yang disorot banyak kamera dan bergelimang harta. Rayyan hanya ingin bahagia dengan cara sederhana. Namun keluarga besarnya mem...