22• Kepergian Orang Tersayang

1.3K 135 2
                                    

Ruangan ini terlihat ramai, tapi nyatanya hanya senyap yang setiap orang tangkap. Tidak ada yang tau kenapa hal ini tiba-tiba terjadi, sosok itu terlihat sangat tegar di hadapan banyak orang. Tidak ada yang tau, bahwa sebenarnya ia sedang kesakitan. Tubuh gagahnya hanyalah tampilan semata, orang-orang dengan mudahnya tertipu dengan sikapnya yang seolah-olah tidak apa-apa. Termasuk wanita dengan mata sembab di pojok ruangan. Sedangkan dua menantunya berusaha menenangkan di samping kiri dan kanan.

Kensie dan Shan berdiri di samping orang-orang berbaju hitam itu dengan tatapan sendu. Tidak ada yang bisa tersenyum dihari yang kelam ini.

Sedangkan dua adik mereka juga berdiri di tempat yang sama. Dengan mata merah, menahan tangis yang sedari tadi mereka tahan. Mencoba untuk tegar di hadapan semua orang.

Sosok kakek yang selalu memberi petuah bijak kepada mereka sudah tidak ada lagi. Semua menangis ketika tubuhnya diangkat, kemudian di masukkan kedalam peristirahatan terakhirnya. Tidak ada yang tau, kapan dan bagaimana ajal datang. Semua bisa terjadi kapan saja. Semua keluarga datang, termasuk Arnold dan Sasha yang seakan melupakan permasalahan mereka. Renand tidak henti-hentinya bertanya, mengapa kakeknya yang sedang tidur dimasukkan kedalam liang lahat kemudian ditimbun dengan tanah yang basah. Ia terus menangis ketika gundukan tanah itu sudah ditaburi dengan bunga-bunga, kemudian kembali bertanya 'mengapa?!'

Shan menatap keluarganya yang datang dengan cepat ketika mendengar berita duka ini. Syukurlah mereka masih punya nurani untuk mendatangi pemakaman kakeknya.

"Kalian ke kamar aja!"

"Nggak, gue di sini. Sama lo." Kensie menatap Shan lekat. Ia tau, tiga orang di sampingnya sudah lelah. Mereka di sana sejak pagi. Ketika pulang dari pemakaman kakeknya, hingga siang menjelang.

"Gue tau kalian capek, mending sekarang kalian istirahat. Inget, beberapa hari lagi lo bakal ikut ujian."

"Lo juga ikut. Kenapa nggak istirahat bareng aja?!"~Kensie

"Gue masih pengen di sini."

"Kak, beneran nggak apa-apa? Kita ke atas duluan ya?!" Shan mengangguk. Menatap kepergian Karel dan Sam. Ia tau, dua anak itu diam-diam menahan lelah setelah hampir seharian duduk bersama

"Kenapa lo masih di sini?!"

"Gue nggak akan pergi kalau lo nggak pergi!" Shan menghela nafasnya. Kemudian meregangkan kakinya. Setelahnya kembali senyap seperti beberapa menit yang lalu.

"Ray kenapa belum pulang ya?" Tanya Kensie sambil memandangi pintu depan yang terbuka lebar. Tapi Shan hanya diam. Mungkin kepergian kakek menyisakan luka yang lebih dalam pada Ray. Anak itu tidak menangis ketika yang lain terisak. Ia hanya diam sambil memandangi gundukan tanah yang masih basah. Ia hanya diam ketika yang lain mulai ribut menenangkan sang nenek. Dan ketika yang lain mulai beranjak pergi dari pemakaman, ia hanya diam. Ia tak mengatakan apa-apa, selain memandangi nisan itu sambil mengelusnya secara perlahan.

Berulang kali Rion memanggil namanya, tapi anak itu hanya diam. Dan masih tetap pada posisinya. Namun, Ray tidaklah setegar itu. Dia lemah dan rapuh. Batinnya terguncang, ketika satu-satunya orang yang terus membela keberadaannya sudah tidak ada lagi untuknya. Saat semua orang sudah meninggalkan nisan itu, ia berteriak sekencang yang ia bisa. Berharap setelahnya, hati akan terasa lebih lega.

Tapi yang ia rasakan malah sebaliknya. Semakin ia berteriak dengan kencang, semakin ia merasa ada hampa yang mulai merayap di sekitarnya. Dan teriakannya perlahan memudar. Berganti dengan isak tangis. Sean dan Rion saling bertukar pandang. Sedih kala melihatnya seperti ini.

Kehilangan kakek sudah cukup membuat mereka kehilangan dengan luka yang nampak jelas terpampang lebar. Jangan juga membuat remaja itu limbung dalam jalan yang sudah ia tentukan dengan perlahan. Jangan buat remaja itu kehilangan keceriaannya dan suara sumbarnya.

Kata Rayyan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang