Tiga

840 126 20
                                    

     Tak lama setelah Tim sampai di tempatnya bekerja, saat ia sedang berada di ruang ganti, Tim mendengar ponselnya bergetar di dalam lokernya yang terbuka. Satu tangannya segera meraih benda itu. Seseorang meneleponnya. Namanya tak asing terpampang di layar.

“Halo?” Tim mengangkat panggilan itu.

Kau sudah sampai di tempatmu?” suara seorang lelaki bertanya di ujung telepon.

“Ya, aku sedang di ruang ganti sekarang. Kenapa kau menelponku pagi-pagi begini?” Tim bersuara heran.

Tim melirik rekan kerjanya; Billy memberi isyarat dari depan lokernya agar segera bersiap karena restoran akan dibuka. Tim mengacungkan telunjuknya meminta waktu sedikit.

Apa kau sibuk malam ini?

“Kau tahu 'kan ini akhir pekan.”

Kau lembur?

“Tentu saja. Kau bisa cepat? Temanku sudah menunggu.”

Aku ingin mengajakmu makan malam nanti.

Mendengar ajakan itu, Tim menghela napas keras-keras sebelum bersuara. "Maafkan aku. Aku tak bisa kalau malam ini."

Hmm ... kuharap kau pulang lebih awal malam ini.

“Ya ... mungkin lain kali.” Tim berdesis sesal.

Tim melihat Billy menatap nyalang padanya yang terus bercakap-cakap di telepon.

“Maafkan aku. Aku harus bekerja sekarang.” Tim terburu-buru mengakhiri panggilan itu, bahkan sebelum lelaki itu sempat membalas ucapannya.

Tim meletakkan kembali ponselnya ke dalam loker. Dia biasa menyimpannya di dalam loker selama bekerja.

"Apa barusan itu Richard?" Billy bertanya sesaat ia menghampiri Tim di depan lokernya.

Tim yang sedang merapikan seragam pramusajinya sekilas melirik lelaki berambut kemerahan itu. "Kau tak perlu menebaknya."

Lelaki yang barusan berbicara dengan Tim adalah seseorang yang bisa disebutnya sebagai 'teman dekat'. Namanya Richard Goodman. Sama seperti pertemuannya dengan Edward dahulu, Tim pertama kali mengenal Richard saat ia melakukan pekerjaan itu lagi.

Setelah berpisah dengan Edward, Tim membuka lembaran baru dalam hidupnya. Dia berjuang membiayai kebutuhan Austin yang saat itu masih berusia bayi. Tim terpaksa berkecimpung dalam pekerjaan itu lagi. Dia bertemu dengan beberapa lelaki sampai ia bertemu dengan Richard yang saat itu hanya sekadar menyewa jasanya.

Namun, pertemuan mereka di malam itu nyatanya meninggalkan benih-benih asmara pada lelaki itu. Richard kembali menghubungi Tim dengan dalih ia ingin bermalam dengannya lagi. Sedari awal melihat Tim, ia langsung saja terpesona pada parasnya yang menawan hati.

Saat Richard memintanya menemuinya lagi, Tim sempat menolak. Tim memutuskan agar tak lagi menemui lelaki yang sama saat melakukan pekerjaan itu. Ada trauma yang membekas di ingatannya. Dia tak ingin terjebak dalam kejadian yang sama.

Namun, Richard tak menyerah begitu saja. Dialah yang kemudian mencoba untuk menemui Tim. Pria itu bersikukuh agar Tim mau menemaninya bermalam. Melihat Richard terus mendesaknya, bahkan mengusiknya dengan terus mendatangi apartemennya, Tim pun mengalah menuruti permintaannya.

Selama mengenal Richard, Tim melihat ia adalah pria yang baik. Lelaki itu bahkan membantunya mendapatkan pekerjaan yang ia geluti hari ini. Richard selalu berusaha semanis mungkin untuk mendapatkan hatinya yang mencoba menampik perasaannya.

Jujur saja, Tim merasa luluh padanya. Dia yakin lelaki itu benar-benar sosok yang tulus. Terlebih Richard juga mengetahui Austin dan tak keberatan dengan kondisinya. Namun, Tim merasa seperti masih ada sekat yang menghalangi hatinya untuk merajut asmara dengannya.

When I Was Your ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang