Dua puluh

507 84 0
                                    

     Di keesokan harinya, Tim terpaksa meminta izin dari pekerjaannya. Dia juga mengabari Billy dan Brianna atas musibah itu. Brianna memintanya untuk datang ke apartemennya, tetapi sebelum ke sana, Tim pergi membeli pakaian untuk Austin dengan sisa uang yang masih tersimpan di dalam rekening pribadinya. Si kecil itu tak memiliki pakaian ganti, Tim melihat pakaian yang Richard pinjamkan bahkan sedikit longgar untuknya.

Tim tak berbelanja di mal atau toko baju dengan jenama terkenal, melainkan di sebuah pasar barang bekas. Dia memang terbiasa berbelanja di sana karena barang-barang yang dijual menurutnya berharga murah dan masih layak digunakan. Sejujurnya, Tim ingin membelikan pakaian baru untuk putranya, tetapi ia tak memiliki banyak uang untuk membelikannya saat ini. Terlebih ia tak hanya membeli satu baju dan celana saja.

Beruntung, Austin tak banyak meminta. Tim merasa lega karena si kecil itu cukup mengerti dengan kondisi mereka saat ini. Mungkin beberapa mainan yang dilihatnya cukup menarik perhatiannya, dan Tim hanya bisa menjanjikannya ketika putranya itu merengek. Tak habis untuk belanja, Tim menyisakan beberapa Dollar untuk ia gunakan pada keperluan lainnya. Tim berpikir ia harus jauh lebih berhemat saat ini. Setidaknya, sampai keuangannya kembali pulih.

Tim tahu Richard pasti akan membantu meminjamkannya uang, bahkan pria itu menawarkannya saat mereka duduk sarapan pagi tadi. Awalnya, Tim merasa sungkan karena ia merasa sudah cukup merepotkannya, tetapi bukan berarti ia menolak kali ini. Tim berkata akan meminjam uang itu jika ia benar-benar membutuhkannya. Tim menyadari kondisinya saat ini. Harta bendanya lenyap bersama tempat tinggalnya dalam kebakaran itu.

Dari pasar barang bekas, Tim bergegas mendatangi Brianna di apartemennya. Ketika bertemu dengannya, ia langsung saja memeluk perempuan itu mengutarakan kesedihannya. Brianna juga memeluk erat tubuh Tim menyampaikan dukanya.

"Aku ikut bersedih." Brianna menatap wajah Tim dengan iba.

Tim mengangguk sendu. Brianna beralih memerhatikan si kecil Austin di sebelah Tim.

"Bagaimana kabarmu, Sayang?" Brianna bertanya dengan isyaratnya.

"Aku baik-baik saja. Hari ini Dadda membelikanku pakaian baru." Si kecil itu tak memperlihatkan gelagat bersedih. Wajahnya terlihat riang seperti biasanya.

Brianna tersenyum kecil. Dia kembali menatap Tim yang terlihat bersedih. Sembari membuka pintu lebih lebar, ia berkata, "Ayo, kita bicara di dalam."

Sewaktu bercerita dengan Brianna, Tim berdiri di pantry membelakangi Austin yang sedang memainkan mainannya di depan TV. Brianna turut merasakan kesedihan yang Tim rasakan ketika ia bercerita bagaimana kehidupannya saat ini benar-benar sulit. Lelaki itu berkali-kali mengusap air matanya yang berderai di pipinya. Brianna nyaris lupa memberikan tisu pada Tim karena larut merasakan pilunya.

"Seharusnya aku tak menyimpan uang itu di lemari pakaianku." Tim bersuara tersedu-sedu.

Brianna bergeming tak bisa berkata banyak lantaran ia sendiri bukan berasal dari keluarga kaya raya yang bisa menggantikan uang yang Tim simpan atau sekadar meminjamkan padanya.

"Aku akan membantumu sebisaku," ujar Brianna penuh pengertian.

"Aku harus memulainya dari awal lagi. Aku harus mencari tempat tinggal karena tak mungkin aku terus menumpang bersama Richard."

Brianna menghela napas lemah. Tatapnya begitu iba memandangi Tim yang terus menangis di hadapannya. "Kau tahu apa yang kupikirkan sekarang? Syukurlah kau mengenalnya. Lelaki itu sangat baik dan banyak membantumu. Jujur saja, aku mungkin juga akan kesulitan membantumu kalau dia tak ada."

Di sela tangisannya, Tim menyimak yang Brianna katakan. Dan entah mengapa ada rasa bersalah yang mencuat dalam dadanya. Seakan ada sesuatu yang ia sia-siakan.

When I Was Your ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang