Sembilan belas

559 89 12
                                    

     Seorang pramusaji berseragam rapi menghidangkan satu per satu hidangan pembuka khas Negeri Matador yang disajikan dengan elegan layaknya restoran mewah yang menawarkan nuansa fine dining. Seusai pramusaji itu berlalu, Edward lebih dulu menyesap anggur merah digelasnya sebelum mencicipi makanan itu, lalu meletakkan sehelai serbet di pangkuannya bersamaan dengan Olivia yang juga melakukan yang sama.

Olivia tak pudar menampilkan senyum semringah di wajahnya. Dia senang lantaran suaminya itu menepati janjinya untuk makan malam bersamanya. Sebaliknya, Edward merasa jenuh ketika duduk di mejanya. Hanya saja, ia mencoba tak menunjukkan gelagat yang dirasakannya itu—berpura-pura seolah dirinya tak keberatan makan malam romantis bersama sang istri.

"Aku senang karena malam ini kita kembali akur." Olivia menyampaikan dengan riang ketika Edward baru saja menyuapkan makanan ke mulutnya.

Edward memerhatikan lurus wajah sang istri di hadapannya. "Apa ada hal lain yang kau inginkan setelah ini?"

"Kau tahu, Ed? Aku tak suka saat kita bertikai."

"Kalau saja kau tak memancingku."

"Aku minta maaf karena perkataanku semalam. Mungkin aku terlalu menekankanmu. Seharusnya aku mengerti saat itu kau sedang lelah." Olivia mengungkapkan.

Edward sepintas bergeming sebelum tersirat seringai tipis di wajahnya tanpa memutus perhatiannya pada istrinya itu. "Apa kau mengatakannya karena bayi itu?"

Melihat raut Edward yang meremehkan, Olivia mengira suaminya itu meragukannya. Dia mencoba bijak menanggapinya. "Tak lama lagi kita akan menjadi orangtua. Sudah seharusnya kita menyingkirkan ego kita masing-masing."

"Dengan kata lain, kau ingin aku mengalah saat menghadapi tudinganmu?"

"Kau akan menjadi ayah, Ed. Dan aku akan menjadi seorang ibu. Kita harus berhenti bersikap kekanak-kanakan."

Edward masih dengan seringai yang sama. Dia berpikir kalau perempuan itu melihat dirinya tak cukup bertanggung jawab. Edward tak suka diremehkan seperti ini. Dan memang bayi yang dikandungnya itu bukan keinginannya sedari awal. Terlebih hatinya saat ini tengah mengungkit kembali masalah asmara dengan mantan kekasihnya.

"Apa ayahmu meneleponmu?" Olivia bertanya sehabis ia menyuapkan irisan paprika dan kentang ke mulutnya.

"Untuk apa? Dia meneleponmu?"

"Aku yang meneleponnya. Aku mengabari hal ini padanya dan juga orangtuaku."

Sepintas, Edward melirik Olivia dengan raut masam, tak lama, hanya sesaat. Seiring menahan kesal, lelaki bermata hazel itu menyantap makanannya tanpa menggubris ucapan istrinya barusan.

"Ayahmu bilang dia akan berkunjung kemari." Olivia menyampaikan berseri-seri.

"Kapan?" Edward menanggapi singkat dengan atensi hambar.

"Dia akan mengaturnya. Setidaknya, dia berjanji akan kemari. Mereka sangat senang begitu tahu aku mengandung anak kita." Olivia tertawa kecil karena tak bisa menahan kegembiraannya.

Raut Edward sama sekali tak berubah. Kaku dan tak ada kesan ia merasakan kegembiraan yang sama. Kabar yang istrinya sampaikan hanya membuatnya frustrasi, kesal, dan semakin tertekan. Edward nyaris mengira kondisinya saat ini tak memungkinkan untuk meraih Tim kembali padanya. Namun, dalam lubuk hatinya yang terdalam seolah masih ada harapan untuknya melakukan itu.

Edward merasa bukan keinginannya untuk mengkhianati pernikahannya bersama Olivia, melainkan ia menyalahkan ayahnya yang otoriter dan dirinya yang terlalu lemah menghadapinya. Selama ini Edward merasa ia berhutang budi pada sang ayah yang telah memberinya kehormatan dan kehidupan yang makmur, tetapi sekarang ia menyadari bahwa itu semua omong kosong.

When I Was Your ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang