Begitu Tim membuka pintu apartemennya, Austin langsung saja masuk ke dalam dan berlari meninggalkan Tim di depan pintu sembari membawa mainannya itu.
Tim sadar sikap dingin Austin padanya karena sikapnya yang berlebihan tadi. Pangeran kecilnya itu terus memasang wajah cemberut dan mengabaikannya sedari di perjalanan pulang tadi. Tim menyesal dan merasa bersalah.
Sebelum menghampiri Austin di kamar, Tim meletakkan bawaannya di dapur. Makanan yang Brianna bungkuskan untuknya ia pindahkan ke dalam piring dan menghangatkannya ke dalam microwave. Selagi menunggu, Tim bergegas menghampiri putranya itu.
Di tempat tidur, Austin langsung berbalik badan membelakangi Tim yang hendak naik ke ranjang. Keduanya tangannya mendekap erat mainan robot itu. Tim tersenyum kecil melihat gelagat si kecil itu. Tak lama, tubuhnya merapat mendekatinya.
Dengan lembut, Tim menyentuh bahu mungilnya itu. Namun, Austin tak menggubrisnya. Tim melihat si kecil itu terus membelakanginya. Tak kehabisan akal, Tim turun dari ranjang dan berputar menemui wajah sang putra.
Austin berpura-pura tidur saat Tim duduk di sisi ranjang tepat di hadapannya. Tim sedikit terkekeh. Dia tahu pangeran kecilnya itu marah padanya. Tak lama, Tim menyentuh wajahnya dan membelainya lembut. Dia sangat menyayangi putra semata wayangnya itu. Jauh sebelum itu, Tim tak pernah mengira ia akan memiliki putra kandungnya sendiri.
Siapa yang mengira dirinya bisa mendapat keajaiban itu?
Tim tersenyum lebar saat melihat Austin membuka matanya dan menatapnya dengan wajah cemberut. Sesaat kemudian, Tim menampakkan wajah sesal seiring kepalan tangannya bergerak melingkar di dada.
Austin pun membalas dengan wajah merengut. "Dadda harus meminta maaf pada mainanku karena Dadda sudah jahat padanya."
Tim tersenyum kecil—sesungguhnya ia ingin tertawa. Untuk mendapatkan hati pangeran kecilnya itu, Tim pun menurutinya. Diraihnya mainan robot itu dari tangan Austin kemudian Tim melakukan isyarat yang sama di hadapan mainan itu seperti yang sebelumnya ia lakukan pada putranya tadi.
Austin tersenyum lebar melihat Tim memenuhi permintaannya. Setelah itu, Tim mengembalikan kembali mainan itu padanya.
"Dadda sudah meminta maaf pada mainanmu. Sekarang, apa kau memaafkan Dadda juga?" Tim bertanya dengan wajah memelas.
Austin mengangguk dengan wajah ceria. Dia membalas dengan isyarat yang membuat Tim tersenyum lega. Tangan kanan Tim mengangkat merapatkan ujung jemarinya di dagu dan menjatuhkannya di depan dada dengan sedikit anggukkan.
Nyaris di saat yang sama, Tim mendengar suara alarm microvawe yang berdenting nyaring sampai ke kamarnya.
"Dadda sedang menghangatkan makanan. Sekarang, kau juga harus sikat gigi dan cuci muka sebelum tidur," titah Tim.
Austin mengangguk. Tim membantunya bangkit dari tempat tidur. Si kecil itu meletakkan mainan itu di atas bantalnya sebelum keluar dari kamar itu.
Selagi Austin di kamar mandi, Tim menyibukkan diri di dapur. Makanan yang sudah hangat itu dipindahkannya ke atas piring. Tim melihat makanan itu mengundang seleranya. Perutnya memang terasa lapar lantaran ia belum menyantap apa pun untuk malam ini. Pekerjaannya di restoran cukup sibuk di akhir pekan.
Tim merapikan sofa dan meja di ruang utama sebelum ia duduk bersantai di sana untuk menikmati makan malamnya sembari menonton acara televisi kesukaannya. Namun, sebelum itu, Tim harus mengurus Austin lagi sebelum mengantarnya tidur.
Austin yang baru saja selesai menyikat giginya, Tim memintanya membuka mulutnya dan melihatkan semua bagian giginya. Tim melihat putranya itu menggosok giginya dengan benar. Tak ada sisa-sisa makanan yang tertinggal di dalam mulutnya. Setelah itu, Tim pun segera menggantikannya piyama.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Was Your Man
Romance[Versi final tersedia dalam bentuk e-book. DM me on 💌 notyourprofessionalwriter@gmail.com] Lima tahun berlalu, tetapi Timothy Willer (Tim) masih berusaha untuk tak menghancurkan hatinya dengan mengungkit kenangannya bersama Edward Pierce. Kala itu...