Sembilan

684 113 8
                                    

     Edward melirik jam tangannya dengan wajah hambar. Sepertinya ia akan sedikit terlambat tiba di kantor pagi ini. Namun, Edward tak begitu peduli, bahkan ia tak meminta Arthur mempercepat laju kendaraannya.

"Kau merasa lebih baik?" Arthur bersuara di kursi pengemudi. Kedua matanya barusan melirik Edward yang tengah melamun dari kaca spion kabin.

"Apa aku terlihat lebih baik?" Edward bertanya dengan hambar.

"Kau minum terlalu banyak semalam."

Edward tersenyum miring. Kelir hazel di matanya tampak berbinar saat menatap ke jendela. Bagi Edward, Arthur bukan sekadar supir pribadinya, tetapi juga orang kepercayaannya sejak lama. Edward selalu mengandalkannya. Ke mana pun Edward pergi, Arthur akan selalu mengikutinya. Relasi mereka di keseharian tak mengenal istilah antara pelayan dan majikan.

Arthur sudah bekerja dengan keluarga Pierce, bahkan sebelum Edward lahir. Kini, usianya sudah menapaki kepala 5. Jauh sebelum ini, Arthur bekerja untuk Mr. Pierce. Dirinya bahkan menjadi tangan kanan sang tuan pada saat itu, tetapi relasi mereka lebih kaku ketimbang dengan Edward sekarang.

"Aku bahkan tak tahu kapan aku bisa melakukannya lagi," gumam Edward tanpa melihat lelaki itu di kursinya.

"Kau pria dewasa. Kau harusnya paham apa yang terjadi saat ini." Suara Arthur mengingatkan.

Sepintas, Edward menyengir hambar. Tatapannya bergulir melirik Arthur yang fokus mengemudi. Mendengar lelaki itu menceramahinya bukan hal aneh. "Hidup ini hanya sekali. Apa yang akan kau lakukan kalau kau tahu akan mati besok?"

"Aku akan pulang ke keluargaku dan menghabiskan waktu bersama mereka." Tanpa sungkan Arthur menjawab seiring menatap jalan di depan.

Seketika air muka Edward berubah masam. Dia tak begitu berkenan dengan jawaban semacam itu. Sepintas, Edward membenarkan duduknya. Setelah itu tatapannya kembali melihat keluar jendela tanpa menghiraukan Arthur lagi.

Keluarga—Edward berpikir seharusnya ia senang mendengar kata itu. Seharusnya ia memilikinya. Namun, kenyataannya ia tak benar-benar merasa bahwa dirinya memiliki keluarga. Masih terbayang dalam ingatannya, saat kecil dulu, sang ayah memisahkannya dari sang ibu bersama kakak laki-lakinya.

Setelah berpisah dari sang ibu, Edward dan saudaranya yang dua tahun lebih tua darinya dibesarkan oleh sang ayah. Kehidupan mereka yang tadinya sederhana seketika bergelimang kemewahan. Apa pun yang mereka inginkan, sang ayah akan selalu memenuhinya. Namun, Edward menyadari kalau sikap ayahnya tak lagi sama seperti sedia kala.

Edward mengenal sang ayah menjadi lebih tawar hati, egois, serta otoriter. Sang ayah tak memberikannya kasih sayang yang tulus sebagaimana mestinya. Butuh waktu lama bagi Edward membenarkan bahwa apa yang ayahnya perlihatkan itu juga tertanam dalam dirinya. Sifat ayahnya itu memberi pengaruh yang kurang lebih sama padanya.

Hanya saja, belakangan ini Edward merasa dirinya tak menemukan apa pun dalam hidupnya. Sikapnya itu membuat dirinya merasa keliru. Edward menyadari bahwa ia tak memiliki sesuatu yang membuat hidupnya terasa bermakna, bahkan yang menjadikannya seseorang yang merasakan kehangatan dari sesuatu yang disebut ‘Keluarga’.

Lima tahun yang lalu, Edward memutuskan untuk pindah ke Boston demi menuruti perintah ayahnya. Dirinya tak bisa menolak tanggung jawab yang diberikan oleh ayahnya yang menjadikannya pemimpin tertinggi di perusahaan mereka yang ada di Boston.

Awalnya, Edward berbagi tugas dengan kakak laki-lakinya yang juga memimpin perusahaan keluarga mereka di Los Angeles. Namun, setahun yang lalu sebuah skandal mencoreng nama baik perusahaan tersebut. Hingga Edward pun dikirim kembali ke California oleh sang ayah untuk memperbaiki keadaan di sana.

When I Was Your ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang