Olivia keluar dari dalam kamar mandi dengan gaun tidur berbahan tipis yang mengumbar dada serta pahanya yang putih mulus. Dia mendapati Edward sudah lebih dulu naik ke tempat tidur dan berbaring membelakanginya. Olivia tak sabar bergabung dengannya. Dia segera mengantar tubuhnya naik ke atas ranjang dan mendekati suaminya itu.
"Kau sudah tidur?" Olivia berbisik.
Kedua mata Edward yang memejam lantas membuka tatkala mendengar suara istrinya itu. Tatapannya memincing ketika Olivia menyentuh lembut bahunya dan membelainya.
"Kau sedang apa?" Edward menghardik tanpa berbalik.
"Kau merasa lebih baik, Sayang?"
"Ya, bisakah kau tak menggangguku?"
Olivia tersenyum tipis. Dia menarik tangannya dari bahu Edward dan berganti memeluknya.
"Jangan begitu, Ed. Bayi kita sedang ingin berdekatan dengan ayahnya," pinta Olivia bermanja-manja.
Edward berbalik. Dia menghardik wajah Olivia dengan tatapannya. "Berhentilah menjadikan bayi itu sebagai alasanmu untuk mendekatiku."
Olivia nyaris terperanjat dengan tudingan Edward barusan. Dia tak menyangka suaminya akan berprasangka seperti itu padanya. "A—Apa maksudmu, Ed? Alasan apa? Kenapa kau menudingku seperti itu? Apa kau tak terima kalau bayi ini menginginkanmu ... ayahnya?"
Kalimat terakhir Olivia menyadarkan Edward dalam sekejap. Kejadian yang selalu membekas dalam ingatannya kembali membesit. Sukar rasanya untuk mengenyahkan dosa itu. Kebaikan apa pun yang dilakukannya tak pernah dirasa cukup untuk menutupinya. Edward termangu ketika menyadari Olivia bergerak menjauhinya dan turun dari ranjang. Perempuan itu melangkah menuju pintu meninggalkannya sendiri di dalam kamar.
Edward merutuk dalam hati. Kantuknya hilang. Firasatnya menjadi tak tenang disesaki rasa bersalah antara masa lalu dan kehidupannya kini. Pikirannya nanar seiring tatapnya mengarah pada langit-langit kamarnya. Tak lama kemudian ia menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Edward turun dari ranjang, bergerak mendekati lemari mengambil jubah piyama dan mengenakannya.
Setelah itu, Edward keluar dari kamarnya. Dari lantai mezanin, Edward melihat Olivia tengah berbaring di sofa malas ruang tengah, dalam keheningan. Dihalau wajahnya dengan satu tangannya. Melihat itu, Edward sempat rancu. Haruskah ia iba padanya? Namun, yang jelas ia tak bisa setega itu pada bayi itu. Dia tak ingin mengulangi kejahatan yang sama. Pada akhirnya nuraninya tak bisa membiarkan perempuan itu bermalam sendirian di bawah sana.
Edward mendekati tangga dan melangkah menghampiri Olivia. Istrinya itu tengah terisak ketika ia menghampirinya.
"Sedang apa kau di sini? Kembalilah ke kamar."
Olivia tak menjawab. Suara Edward barusan terdengar seperti memerintah daripada meminta.
Sepintas, Edward berdecak karena Olivia membuatnya berdiri lebih lama di sana. "Kau mendengarku? Bangun dan kembalilah ke kamar."
"Untuk apa? Bukankah kau lebih suka aku tak di dekatmu?" Olivia bersuara parau sambil mengusap-usap pipinya dari air mata.
"Ini sudah malam. Aku tak mau ada keributan." Edward mengingatkan.
"Apa kau berpikir aku menginginkannya? Kau menyalahkanku atas sikapmu yang selalu kasar padaku?" mata biru Olivia yang sembab dibasahi air mata mengagah wajah Edward di hadapannya, mencari sedikit pengertian darinya.
"Aku selalu bersikap kasar padamu? Lalu untuk apa aku memenuhi keinginanmu hari ini? Aku bahkan tak menolak meskipun kau memaksa."
Olivia bangkit dari baringnya. Dia duduk meringkuk di atas sofa dengan raut bersedih. "Lalu kau pikir hari ini saja cukup? Apa kau peduli padaku hanya di saat-saat tertentu? Aku membutuhkanmu, Ed. Bayi kita membutuhkan ayahnya. Aku tak ingin ketidakpedulianmu membuat anak kita nanti merasa asing denganmu. Jangan sam—"
![](https://img.wattpad.com/cover/241511750-288-k378710.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Was Your Man
Romance[Versi final tersedia dalam bentuk e-book. DM me on 💌 notyourprofessionalwriter@gmail.com] Lima tahun berlalu, tetapi Timothy Willer (Tim) masih berusaha untuk tak menghancurkan hatinya dengan mengungkit kenangannya bersama Edward Pierce. Kala itu...