Dua puluh dua

537 84 10
                                    

     Awalnya, Tim menolak ketika Richard meminjamkan kamarnya dan sebagai gantinya pria itu tidur di sofa ruang tengah. Namun, Richard bersikeras agar Tim tak menolak yang dimintanya. Austin pun disebut-sebut sebagai alasannya. Si kecil itu tak seharusnya bermalam di atas sofa.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" Austin memberi isyarat ketika Tim menemaninya sebelum tidur.

"Ini sudah malam. Kau masih ingin bercerita?" Tim yang berbaring di sebelahnya membalas dengan raut heran.

"Sebentar saja."

"Tapi janji setelah ini kau tidur?"

Austin mengangguk menampakkan barisan gigi susunya. Telunjuknya menyentuh dagunya kemudian telapak tangan kanannya menepuk tangan kirinya yang mengepal.

"Baiklah, kau ingin bertanya apa?" Tim menuruti.

"Apa Richard seorang ayah?"

Tim mengernyit heran tak menangkap jelas maksud pertanyaan putranya barusan. Dia memahami seadanya. "Richard akan menjadi ayah kalau dia memiliki anak."

"Apa dia juga bisa menjadi seorang ibu seperti Dadda?"

Tim berpikir sejenak sebelum mengutarakan jawaban yang mudah dipahami putranya itu. "Di luar sana ada seorang ayah yang sekaligus menjadi ibu, lalu seorang ibu juga bisa menjadi ayah. Kau mengerti?"

Austin memerhatikan wajah Tim sembari menggigit bibir bawahnya yang tipis berwarna merah muda itu. Entah si kecil itu benar paham atau tidak, anggukkan darinya memberi perasaan lega untuk Tim.

"Lalu apa ada ayah yang menjadi ayah dan ibu menjadi ibu saja?"

"Tentu ada. Seperti Brianna, dia akan menjadi seorang ibu karena ada Travis yang akan menjadi ayah saat bayi mereka lahir nanti dan membesarkannya bersama."

Austin terdiam begitu Tim menjelaskan. Atensinya membeku memandangi wajah Daddanya itu.

"Ada apa?" tanya Tim dengan gestur pelik.

Austin pun kembali menyiratkan isyarat dengan kedua tangannya serta mimik wajah yang kebingungan. "Kalau Dadda tak sendiri membesarkanku, apakah Dadda adalah ibuku atau ayahku?"

Tim nyaris tercekat ketika mendengar pertanyaan yang putranya lontarkan barusan. Dia merasa pangeran kecilnya itu seringkali merepotkannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya kalut. Namun, Tim sadar bahwa Austin semakin tumbuh besar dan ada banyak hal yang ingin ia ketahui. Hanya saja, usianya juga masih terlalu dini untuk ia jelaskan semua yang terjadi.

"Mungkin ini belum saatnya Dadda menjelaskannya padamu. Dadda khawatir kau belum bisa memahami semuanya, tapi yang jelas Dadda adalah orang yang melahirkanmu." Kemudian Tim menaikkan sedikit kaos yang dikenakannya menampakkan bekas jahitan di bawah pusarnya. "Kau lihat bekas luka ini? Seorang dokter membelah perut Dadda dan mengeluarkanmu dari dalam sana."

Raut Austin meringis ngeri. Dia bertanya, "Apa rasanya sakit?"

"Dadda tak bisa merasakannya karena Dadda pingsan saat itu. Dadda tak kuat melihat darah," jelas Tim dengan senyum menahan tawa.

"Kalau Dadda melahirkanku, itu berarti Dadda adalah ibuku. Benar, 'kan? Dadda mirip seperti Brianna," balas Austin dengan mimik berseri-seri khas anak kecil seusianya.

"Kita anggap saja sesederhana itu. Sekarang saatnya kau menepati janjimu," pungkas Tim sebelum menarik selimut menutupi tubuh kecil sang putra.

"Satu pertanyaan terakhir." Kedua tangan Austin bergerak cepat menyanggah.

When I Was Your ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang