Lima belas

558 82 6
                                    

     Edward mengeluarkan dompetnya ketika ia berdiri di depan kasir. Dia menyerahkan kartu kreditnya, tetapi lelaki dihadapannya menolak.

"Maaf, tapi saat ini semua pembayaran hanya bisa dilakukan dengan uang tunai."

Edward mendelik. "Apa?"

"Alatnya sedang rusak."

Mendengar itu, Edward kebingungan. "Aku tak punya uang tunai saat ini."

"Kau bisa mengambilnya di ATM terdekat," saran petugas kasir itu.

"Omong kosong. Seharusnya kalian memiliki alat cadangannya." Edward berkomentar dengan nada kesal.

"Apa semuanya baik-baik saja?"

Edward menoleh ke kanannya, mendapati seorang karyawannya bernama Richard tadi berdiri di dekatnya dengan gelas kopi seperti miliknya dan meletakkannya ke meja kasir tepat di sebelah gelas kopi miliknya.

"Dia tak membawa uang tunai. Mesin pembaca kartunya sedang rusak," petugas kasir itu menimpali.

"Oh, aku bisa membantumu." Richard dengan senang hati menawarkan pada Edward.

"Tidak perlu." Edward menolak tanpa berbasa-basi. Dia mengutamakan gengsinya.

"Tidak apa, Tuan. Sayang sekali kalau kau mengembalikan kopi itu."

Edward mendapati lelaki itu tanpa sungkan mengeluarkan selembar uang dari dalam dompetnya dan memberikannya pada lelaki di balik meja kasir itu. Edward merasa malu, meskipun merasa terbantu. Dia sempat berpikir kalau perbuatan baik Richard adalah formalitas belaka. Namun, Edward teringat perkataan Tim dulu yang menudingnya terlalu angkuh menanggapi kebaikan dari orang lain.

Begitu menerima uang kembaliannya, Richard menyodorkan gelas kopi milik Edward barusan.

Menyengir tipis, Edward menerima kopi itu. "Thanks."

"Sebuah kehormatan untukku mentraktir segelas kopi padamu malam ini," sanjung Richard. Dia mencoba mengakrabkan diri di hadapan sosok yang disegani semua orang di kantor.

Edward bergeming tak terkesan. Dia menganggap pujian semacam itu adalah sesuatu yang biasa saja.

"Richard Goodman. Itu namamu, bukan?" Edward bertanya dengan nada kasualnya, tetapi gelagatnya tak sehangat yang dilihat.

"Kau benar, Tuan." Richard tersenyum sedikit kikuk.

"Aku menghargai bantuanmu malam ini, tapi ada satu hal lagi yang aku ingin kau lakukan." Edward menyampaikan.

Richard terdiam penasaran.

Edward melirik ke pintu masuk dan berkata, "Kau lihat seorang pengemis di depan sana sebelum kau masuk kemari?"

"Ya ... aku melihatnya." Richard tak mengerti mengapa Edward menanyakan itu dan kemudian lelaki itu kembali menatapnya.

"Berikan semua uang yang tersisa di dompetmu padanya. Kau tinggal melaporkannya pada sekretarisku dan kupastikan uangmu kembali ke rekeningmu saat di kantor nanti, jelas?" titah Edward membuat Richard nyaris termangu tak percaya, tak terkecuali petugas kasir itu yang mendengar percakapan mereka.

Tak ada yang ingin disampaikan lagi, Edward langsung saja berbalik dan melangkah menuju pintu meninggalkan minimarket tersebut dengan segelas kopi di tangannya. Dia sempat melihat pengemis tadi duduk di atas papan kardus memerhatikannya dengan wajah lusuhnya itu. Edward hanya menyengir tipis dan naik ke dalam mobil sport miliknya yang terparkir di tepi jalan.

Kembali dalam perjalanan, Edward tiba-tiba mengingat sebuah tujuan yang seharusnya ia datangi sedari tadi. Arthur yang memberitahukan padanya. Edward meneguk gelas kopinya sebelum ia tancap gas mendatangi tempat itu. Tak sampai lima belas menit kemudian, Edward tiba di sebuah jalan yang mana ada sebuah bangunan apartemen dua lantai berdiri di sana.

When I Was Your ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang