Richard baru saja mendapat kabar dari sekretaris Edward yang menghubunginya barusan. Dia tak mengira uang yang digantikan ke rekeningnya berjumlah dua kali lipat dari yang ia berikan pada pengemis semalam. Merasa sebagian uang itu bukan miliknya, Richard segera meraih gagang telepon dan menghubungi sekretaris Edward.
“Hai, ini aku lagi, Richard Goodman dari divisi pemasaran.” Richard menyampaikan di ujung telepon.
“Ada yang bisa kubantu?”
“Ya, aku melihat sepertinya ada kesalahan dengan jumlah uang yang diganti ke rekeningku. Jumlahnya dua kali lipat dari uangku,” jelas Richard sembari menatap akun rekeningnya di ponselnya.
“Jumlah itu sesuai seperti yang Tn. Direktur katakan.”
“Tapi aku tak menggunakan uangku sebanyak itu.”
“Aku hanya melakukan sesuai yang dikatakannya. Apa kau perlu yang lain?”
“Aku akan mengembalikan uang itu.”
“Itu sudah menjadi keputusan Tn. Direktur dan sebaiknya kau simpan saja.”
“Tapi—halo?” Richard tak sempat berkomentar apa-apa lagi karena tiba-tiba saja panggilan itu terputus. "Sombong sekali dia mematikan teleponku," gerutunya sembari meletakkan gagang telepon itu ke tempatnya.
Sejenak, Richard mengingat kembali kejadian semalam. Dia tak mengira di balik sikap dingin dan angkuh Edward, lelaki itu masih bermurah hati meminta bantuannya untuk menolong pengemis itu. Richard juga tak habis pikir karena Edward mengganti uangnya lebih dari yang ia berikan pada pengemis itu. Dia mengira kalau ini adalah hak istimewa yang didapatkannya dan jujur saja hal ini membuatnya bangga karena membantu sosok yang paling disegani di tempatnya bekerja.
Tak lama setelah itu, Richard melihat satu per satu karyawan di sekelilingnya mulai meninggalkan meja mereka. Diliriknya jam tangan di pergelangan kirinya, sudah menunjukkan pukul 12 siang lewat lima menit. Richard melirik layar komputernya dan ragu meninggalkan pekerjaannya yang masih separuh jalan. Dia berpikir untuk menyelesaikannya lebih cepat agar nantinya ia memiliki waktu luang dan kembali lebih awal.
Tak berbeda dengan Richard, siang ini Edward pun memilih melewatkan jam makan siangnya demi menyelesaikan semua pekerjaannya lebih awal. Dia sudah berencana untuk meninggalkan kantor sebelum matahari terbenam. Fokusnya saat ini terpaku pada layar laptop dan dokumen-dokumen penting yang menumpuk di atas meja kerjanya. Di sela kesibukan itu, fokusnya sempat terpecah ketika mendengar dering panggilan di ponselnya. Edward segera meraih benda itu dari atas meja dan langsung saja menjawab panggilan itu dengan nada tak senang hati.
“Kenapa kau terus meneleponku?” tukasnya tanpa berbasi-basi.
“Ed, syukurlah kau mengangkat teleponku kali ini.” Olivia bersuara merasa lega di ujung telepon.
“Aku sedang sibuk saat ini. Katakan apa yang kau butuhkan?”
“Bukankah ini sudah jam makan siang? Kenapa kau masih bekerja?”
“Aku punya banyak pekerjaan hari ini. Jadi, jangan membuang-buang waktuku.” Edward menegaskan.
“Apa kau membawa bekal sarapanmu pagi tadi?”
“Ya.”
“Kau menghabiskannya?”
“Ya.”
“Benarkah? Syukurlah ... aku senang sekali mendengarnya. Aku membuatnya sepenuh hati sebagai permintaan maafku atas kejadian tadi malam. Thanks, Ed.” Suara Olivia di balik sana terdengar begitu riang dan tertawa manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Was Your Man
Romansa[Versi final tersedia dalam bentuk e-book. DM me on 💌 notyourprofessionalwriter@gmail.com] Lima tahun berlalu, tetapi Timothy Willer (Tim) masih berusaha untuk tak menghancurkan hatinya dengan mengungkit kenangannya bersama Edward Pierce. Kala itu...