"Terkadang perasaan cinta itu bisa jadi ujian dari Allah, ujian agar manusia bisa memilih apa yang baik untuk ia lakukan. Ujian agar ia bisa menahan perasaannya, hingga Allah memberikan takdir yang indah untuknya."
~Azima~
"Tapi ..." ucap Hana pelan, membuat semua mata kini tertuju padanya menunggu ucapan yang akan keluar dari mulutnya."Aku tidak mengerti mengapa Shakeel mengatakan, bahwa ia tak memesan makanan siap saji yang pernah ku antarkan ke apartemennya waktu itu," lanjut Hana, Azima pun sejenak mengingat kejadian tersebut saat Hana memberikan makanan itu kepada dirinya.
"Dan makanan itu Kak Hana berikan kepadaku," sambung Azima dan Hana pun menganggukkan kepalanya.
"Bisa saja itu hanya akal-akalan Shakeel saja. Agar orang-orang tak curiga kepadanya," jawab Amar sambil menatap Azima dan Hana secara bergantian.
"Jangan menarik kesimpulan sendiri. Cari bukti lebih banyak lagi agar kita bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi." Fahreza memperingati timnya agar tak mengambil kesimpulan sendiri sebelum semuanya jelas.
Azima, Hana dan Amar menganggukkan kepalanya. Apa yang Fahreza katanya memanglah benar, meskipun bukti tertuju pada Shakeel tapi itu belum cukup untuk menangkapnya.
🍃🍃🍃
Pertemuan dengan timnya telah selesai dan kini Azima tengah menepikan mobilnya di pinggir pantai.
Ia menurunkan kaca jendela mobilnya, membiarkan angin leluasa masuk dengan sendirinya. Perlahan Azima menyandarkan kepalanya dan memfokuskan netranya pada langit senja di sore ini.
Azima menghirup napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Memikirkan semua bukti yang semakin terarah kepada Shakeel membuat dirinya semakin gelisah. Ia merasa tak percaya jika Shakeel bisa melakukan hal semacam itu.
Namun, jika semua itu benar adanya. Maka tak ada lagi alasan untuk dirinya percaya pada Shakeel. Beberapa bulan berada di sekitar Shakeel membuat dirinya percaya bahwa Shakeel tak akan mungkin melakukan hal semacam itu, tapi bukti-bukti yang belakangan timnya dapatkan malah menyudutkan bahwa Shakeel bisa saja dalang dari semua ini.
Azima lagi-lagi menghirup napasnya dalam-dalam, menetralkan perasaannya yang semakin kacau dengan netranya yang masih menatap langit senja yang mulai berganti gelap.
Azima memutuskan untuk pulang dengan perasaan sesak, meski berkali-kali mencoba melupakan Shakeel dan memfokuskan pikirannya pada misinya tapi ia tak mampu, sebab nama Shakeel selalu saja muncul di benaknya.
Rumit. Kata itulah yang bisa ia ucapkan jika harus memilih antara perasaan dan pekerjaannya. Karena seberapa kuat ia berusaha melupakannya tapi hatinya tak sejalan dengan keinginannya.
"Terkadang perasaan cinta itu bisa jadi ujian dari Allah, ujian agar manusia bisa memilih apa yang baik untuk ia lakukan. Ujian agar ia bisa menahan perasaannya, hingga Allah memberikan takdir yang indah untuknya. Mungkin kali ini Allah tengah mengujiku agar aku bisa menetapkan pilihanku." Azima berusaha berpikir positif dengan apa yang tengah ia rasakan saat ini, ia menganggap bahwa perasaannya pada Shakeel adalah ujian tersendiri bagi dirinya dalam menyelesaikan tugasnya.
Mungkin mengesampingkan perasaannya adalah pilihan yang terbaik, meski sulit tapi ia akan berusaha agar misinya bisa berjalan sesuai rencana. Ia tak boleh lalai dalam tugasnya, sebab bagaimanapun itu adalah amanah yang telah ia terima.
🍃🍃🍃
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
KAMU SEDANG MEMBACA
AZIMA [END]
Teen FictionFollow dulu sebelum baca! Azima Faza. Nama yang melekat pada dirinya di usia 16 tahun. Identitas baru yang tak seorang pun tahu, bahkan kedua orang tuanya sekali pun. Usia 16 tahun, di mana gadis-gadis seusianya menghabiskan waktu bersama keluargan...