Namun, bukan cinta namanya jika ia tak buta, karena cinta itu tak pernah memandang apa yang nampak dari luar, bukan mata yang menilai tapi hatilah yang memilih pada siapa ia akan berlabuh.
🍃🍃🍃
Villa pukul 17:59.
Azan magrib telah berkumandang, Azima bergegas menuju kamarnya di lantai dua, namun langkahnya terhenti saat netranya tak sengaja melihat Shakeel berlalu, menggunakan baju koko yang di padukan dengan celana jeans hitam dan tak lupa dengan peci di kepalanya.
"Masya Allah." lirih batin Azima.
Sejenak Azima terkesima akan ketampanan makhluk ciptaan Allah, ciptaannya yang bisa dikatakan sempurna, sehingga mampu membuatnya terpaku walau hanya sesaat sebelum ia kembali menundukkan pandangannya.
"Astaghfirullah," ucapnya kembali lalu melanjutkan langkahnya menuju kamarnya.
Selepas salatnya, Azima berkali-kali meminta ampunan pada Allah agar setiap dosa yang ia perbuat bisa diampuni oleh Allah. Dan tak lupa untuk berdo'a demi keselamatannya di mana pun dan apapun tugas yang sedang ia lakukan.
Berbeda dengan Azima, di tempat lain Shakeel sedang mengutarakan isi hatinya kepada Allah. Berkali-kali menyebutkan nama Azima dalam do'anya, Shakeel berharap Allah menjadikan Azima sebagai takdir dan jodohnya.
Shakeel tak mengerti mengapa hatinya telah sepenuhnya memilih Azima. Sementara ia sendiri belum begitu mengenal Azima.
Namun, bukan cinta namanya jika ia tak buta, karena cinta itu tak pernah memandang apa yang nampak dari luar, bukan mata yang menilai tapi hatilah yang memilih pada siapa ia akan berlabuh.
Seperti itulah yang Shakeel rasakan saat ini, meski sepenuhnya belum mengenal Azima, tapi hatinya sudah sepenuhnya memilihnya.
🍃🍃🍃
Azima menuruni anak tangga menuju lantai dasar, ia mengedarkan pandangannya, tapi tak seorang pun yang nampak di pandanganya.
Ia pun berlalu ke arah dapur, mencari keberadaan bibi Vei. Namun ia pun tak menemukan bibi Vei.
Hingga dering handphone-nya berbunyi, nama Neva terpampang jelas di layar tersebut.
"Assalamu'alaikum,"
"Waalaikumsalam. Kak Azima tolong ke arah kolam renang, Neva tunggu di sini yah."
"Kolam renang?"
"Iya Kak, cepetan ke sini Neva tunggu. Assalamu'alaikum," ucap Neva lalu mematikan sambungan teleponnya.
"Waalaikumsalam."
Azima melangkahkan kakinya menuju kolam renang. Setibanya di sana, bukan Neva yang ia dapatkan namun pemandangan yang bisa dikatakan romantis. Meja makan yang telah dihiasi dengan lampu-lampu dan beberapa sajian makanan yang tertata rapi di atasnya membuat netra Azima tak berkedip.
"Ikut denganku," suara bariton itu tiba-tiba muncul dari arah belakang Azima, membuatnya sedikit terkejut.
Shakeel berjalan mendahuluinya, hingga ia pun mengikutinya dari belakang.
Shakeel menarik salah satu kursi. "Silahkan duduk." ucapnya sambil menatap wajah Azima.
Azima membulatkan matanya, lagi-lagi ia tak mengerti apa sebenarnya yang sedang dilakukan oleh Shakeel. Tak percaya dan tak mengerti itulah yang sedang Azima rasakan saat ini.
Azima duduk pada kursi tersebut dan Shakeel pun duduk di hadapannya. Azima kembali mengedarkan pandangannya, seakan mencari sesuatu membuat Shakeel menautkan kedua alisnya. "Kamu sedang mencari sesuatu?"
"Hem, kenapa Neva tak di sini?"
"Dia sedang istirahat di kamarnya."
"Terus mengapa ia menyuruhku ke sini?"
"Makan dulu, nanti makanan dingin." ucap Shakeel yang memilih mengalihkan pertanyaan Azima.
Azima seperti anak kecil yang langsung mengikuti ucapan Shakeel untuk memakan makanan yang ada di hadapannya.
Hanya keheningan yang terjadi, hingga mereka selesai menyantap makanan tersebut.
Bibi Vei menghampiri mereka dan meletakkan dua gelas minuman dan mengambil piring kotor di atas meja lalu meninggalkan mereka kembali.
"Boleh aku menanyakan sesuatu kepadamu?" tanya Shakeel, membuat Azima menganggukkan kepalanya.
"Apa kamu sudah membaca surat yang ku sisipkan pada buket bunga itu?"
Dengan gugup Azima menjawab pertanyaan Shakeel. "Iya Pak, saya sudah membacanya."
Shakeel tersenyum tipis mendengar ucapan Azima. "Apa kamu tau, apa maksud dari kata-kata yang ku tuliskan itu?"
Azima hanya diam dan menundukkan kepalanya, ia benar-benar gugup dengan situasi yang terjadi saat ini. Azima mengerti akan kata-kata yang Shakeel tulisan dalam surat itu, itu adalah ungkapkan perasaan, namun Azima tak sepenuhnya mengerti sebab ia merasa tak mungkin jika Shakeel menyukainya.
"Azima," panggil Shakeel saat melihat Azima hanya terdiam.
"Iya Pak."
"Hatiku telah memilihmu Azima." ucap Shakeel dengan lembut.
Udara seakan berhenti sejenak, Azima benar-benar merasakan sesak di dadanya, entah mengapa ucapan Shakeel membuatnya terdiam.
"Azima, izinkan aku mengenalmu lebih dekat. Aku mencintaimu Azima."
🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
❤️
Jangan lupa vote and coment-nya.
Sampai jumpa di part selanjutnya 🤗
Terima apa tidak? Biar Azima yang memikirkannya.
Selamat menikmati Sabtu malam kalian 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
AZIMA [END]
Ficção AdolescenteFollow dulu sebelum baca! Azima Faza. Nama yang melekat pada dirinya di usia 16 tahun. Identitas baru yang tak seorang pun tahu, bahkan kedua orang tuanya sekali pun. Usia 16 tahun, di mana gadis-gadis seusianya menghabiskan waktu bersama keluargan...