[26] End

8.2K 374 36
                                    

Hino resmi bekerja di perusahaan keluarga. Tania dan Algasha ia boyong tinggal di rumah yang dibelikan Ben. Tanpa penolakan Hino menerima rumah mewah sebagai hadiah pernikahan yang terlambat. Kediaman mereka masih satu kompleks dengan Dewi. Tania takkan menolak karena dia akhirnya memiliki keluarga. Kapan saja Dewi Sinta bisa datang menjenguk Tania dan Algasha.

Kebetulan Algasha dibawa Dewi Sinta yang katanya mau dipamerkan di arisan ibu-ibu kompleks. Tinggallah Tania sendirian di rumah itu. Sengaja Tania tidak ikut dengan Dewi karena biasanya para nyonya kalau berkumpul akan makan waktu lama, tidak ingat suami di rumah. Tentunya mereka tidak seperti Tania yang memiliki suami minta dilayani dari mulai hal terkecil seperti membukakan kancing baju. Hino yang katanya sudah bekerja malah semakin manja.

Benar saja ketika Tania selesai mandi, suara Hino sudah memanggil dari arah depan. Dan setiap Hino menggunakan panggilan spesial itu, Tania merasakan raganya menghangat.

"Mana sih?" Hino tampaknya mulai kesal karena panggilannya tidak Tania tanggapi.

Tania sebenarnya sudah berusaha cepat untuk memakai baju dan menyisir rambut, tapi lebih dulu Hino sampai di sebelahnya. Jika biasanya, Tania yang harus mendatangi Hino ke depan. Apalagi sampai ke pintu bahkan jika menunggu di depan teras, Hino pasti akan senang. Senyumannya akan murah sekali diumbar.

"Sayang ...." Sebuah panggilan yang tak pernah ketinggalan sejak mereka pindah ke rumah itu.

Pria bersetelan kantoran itu menepuk siku Tania yang tengah mengancingkan piyama.

"Ah, hay. Maaf, nggak kedengaran." Tania siap menghadap Hino.

Rambut Tania yang basah dan kusut menambah kesan keseksian wanita itu. Hino menjauh lalu meletakkan kedua tangannya di pinggang. Tania pun tahu dengan tugasnya, melepaskan kaitan kancing dari pakaian suaminya.

"Al mana?" Hino berbasa-basi. Tania sudah memberitahunya sebelum Algasha dibawa pergi.

"Masih sama Mami." Pekerjaan Tania sudah selesai saat Hino melepaskan pakaian atasnya dan membuat pemandangan indah bagi mata Tania.

Hino menipiskan jarak mereka yang membuat Tania terperanjat. Wanita itu rupanya sedang melamun dan matanya tak lepas dari dada suaminya. Dengan cepat Tania mengalihkan tatapannya dan merasakan suhu ruangan itu naik.

"Ada kabar tentang Nagita. Nanti aku cerita. Sabar," kata Hino menekan kening Tania saat Tania ada gelagat akan meminta penjelasan.

"Aku mandi dulu. Eeh, berendam kayaknya enak nih. Pasti bikin tulang-tulang yang keseleo pada baik semua."

Dilihatnya Tania hendak menyela, bikin Hino tertawa kencang. Hino sengaja ingin mengulur waktu karena Tania sudah lama sekali ingin tahu berita dari adik sepantinya itu.

"Ceritanya kalau sedang berendam pasti lebih seru!" teriak Hino saat tiba di dalam kamar mandi. "Ada sensasi yang bikin semangat kalo ceritanya sambil dipijat!" goda Hino dan syukur-syukur Tania paham kode itu.

"Cepatlah! Jangan mati sebelum selesai mandi!" Tania tak mau kalah menjawab dengan suara TOA.

Tania amat meragukan Hino dalam mencari Nagita. Sudah lama suaminya berjanji untuk mencari Nagita. Mana? Bahkan sampai sekarang Hino tidak pernah membahas teman-teman kuliahnya. Alasan Hino, mereka sudah tidak berteman. Mereka berjauhan. Mereka punya kehidupan masing-masing. Mereka udah pada dewasa. Mereka nggak perlu diurusin, yang perlu kamu urus itu aku. Tania tidak perlu memikirkan Nagita segitunya, pikirkan saja Hino sebagai suami. Dan masih banyak sekali alasan dari anaknya Mami Dewi.

Memang betul apa yang Hino katakan. Teman-temannya, Hino tinggalkan di Bandung, sementara mereka sekarang di Sumatra. Hino sibuk bekerja dan waktunya di rumah tak boleh direpotkan dengan hal-hal yang tidak perlu. Tania tak bisa membantah anak kecil dalam cangkang pria dewasa itu.

Hino (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang