[12]

3K 305 24
                                    

“Hino. Hino. Bangun!”

Tania mengguncang-guncang bahu Hino yang lelap di sampingnya. Setelah beberapa bulan hidup bersama Hino, Tania sudah terbiasa dengan kebiasaan tidur Hino. Tidak mempan dengan mengguncang, Tania pun melakukan kekerasan dengan menggigit Hino.

“ADUH!”

Hino langsung terduduk dengan wajah merah. Dengan gusar Hino mengelus daun telinga yang digigit Tania. Mereka biasanya memang melakukan hal itu jika sedang bermesraan, namun biasanya hanya gigitan kecil. Yang sekarang telinga Hino serasa mau putus.

“Kamu!” Hino kelepasan membentak Tania.

Di awal-awal pernikahan, setiap Hino tidak sengaja membentak atau bersuara keras sedikit saja Tania pasti akan menangis sedih. Tania lalu akan meminta maaf karena membuat Hino kesal, tapi sekarang sudah banyak yang berubah dari diri Tania.

“Kebo banget!” ucap Tania ketus.

“Kamu sih, nggak bisa apa banguninnya lembutan dikit?” balas Hino.

“Udah jerit-jerit. Aku udah bikin tidur kamu kayak dilanda gempa delapan skalarichter, masih aja kebo. Bisa-bisa anakku keluar sekarang!” sungut Tania.

“Ya ampun, Tan. Jangan ngomong kayak gitu dong! Masih lima bulan, nggak mungkin dong lahiran?” ucap Hino rendah. Masih mengantuk.

“Makanya jangan bikin tensiku tinggi! Eeeh. Bangun dong, No! Anakmu mau makan sate madura ini!” ucap Tania kembali mengguncang-guncang bahu Hino.

“Lagi? Bukannya udah berhenti ngidam?” tanya Hino membuka kelopak matanya.

“Berhentinya pas udah brojol aja kali!” ucap Tania tak acuh.

“Ya terus mau nyari ke mana malam-malam gini? Udah jam dua loh, Tan.”

Hino beringsut dari ranjang lalu membuka lemari pakaian. Setelah menarik jaket kulit hitam dan memakainya, Hino mengambil kunci mobil.

“Kamu mau ke mana juga?” tanya Hino saat melihat Tania sudah memakai jaketnya.

“Ikut,” jawab Tania singkat.

“Udah malam. Biar aku aja yang beliin, kamu tunggu di apartemen,” ucap Hino lembut. Kalau melarang dengan suara tegas, Tania biasanya melawan.

“Nggak enak satenya sampai di apartemen. Aku ikut!” ucap Tania.

Dengan berat hati Hino membawa Tania berkeliling kota untuk mencari sate madura. Sepanjang jalan ada banyak yang berjualan sate, tetapi bukan sate madura. Ada sate padang, sate kambing, dan sate ayam biasa. Hino masih terus melajukan mobilnya sampai ia melihat gerobak dengan tulisan Sate Madura Ikipiye. Hino lalu menepikan mobilnya di pinggir jalan. Kebetulan pedagang sate ini berjualan di taman yang sepi kendaraan. Hino membuka sabuk pengamannya lalu menghadap ke samping. Tania tidur dengan menyandarkan kepala pada jendela mobil.

Hino bingung begitu melihat tidur Tania yang sangat pulas. Juga kasihan kepada leher Tania yang nanti pasti akan sakit dengan posisi seperti itu. Jika dibangunkan, kasihan tidurnya akan terganggu. Jika tidak dibangunkan, mereka sudah sampai. Tapi Hino lebih baik diomeli daripada mengganggu tidur Tania. Hino memutuskan untuk memindahkan kepala Tania ke bahunya agar tidur istrinya nyaman. Tania tidak terganggu dengan guncangan kecil itu. Hino yang pada dasarnya mengantuk juga ikut tertidur di samping Tania.

Sejam kemudian Tania membuka kelopak mata. Tania mendapati dirinya bersandar di pundak suaminya. Hino pun terbangun oleh pergerakan kecil Tania.
Tania melihat Hino dengan kesal.

“Ngeselin banget ni laki. Sekarang abang satenya udah mau pergi, lihat!”

Dan benar saja di luar sana sate madura yang mereka datangi sedang berjalan menjauh. Tania melipat tangannya di depan perut.

Hino (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang