I4. semu

139 37 0
                                    

arkha membuka pintu apartemennya agak kesal. bagaimana tidak, ia baru saja sempat merebahkan diri setelah berjam-jam menatap laptop dan tiba-tiba bel apartemennya berbunyi.

namun rasa kesal itu seketika hilang ketika melihat karin dengan wajah cemas sedang berdiri di hadapannya.

si gadis menunduk, sungguh bukan karin sekali. "gue boleh minta tolong?" ujarnya lirih dan agak serak, sepertinya habis menangis.

"boleh, ada apa emangnya?" balas arkha lembut.

karin menarik nafas sekuat-kuatnya, meminta hal seperti ini sungguh berat. terutama ketika yang diminta adalah arkha, musuh bebuyutannya yang temannya.

"pacar gue, well lebih tepatnya mantan pacar gue. gue mau ketemu dia. dan gue pikir ga ada orang yang lebih tepat buat nemenin gue selain lo."

kepala arkha seolah barusan dihantam besi berat, untuk hampir semenit ia tak bisa menjawab. jangankan menjawab, otaknya saja tak dapat berfungsi dengan benar seolah-olah berhenti tiba-tiba selama sejenak.

"kenapa?"

karin menatap dengan sorot kebingungan.

"kenapa apanya?"

"semua yang lo lakuin. kenapa lo sesayang itu sama dia, kenapa lo masih mau bantuin dia, dan kenapa lo mikir gue orang yang tepat buat nemenin lo."

kini si gadis maheswari menunduk, merenung untuk jawaban yang benar. sebelum akhirnya dia kembali mendongak dan mengulas senyum tipis.

"beberapa hal ngga bisa dijelasin semudah itu. gue ga bisa bohong kalo gue dateng ke sini karena gue sayang dia. maksud gue rasa sayang ke dia ga berubah. dan gue tahu kalo gue ke sana sendirian gue bakal berakhir nangis sampe berhari-hari."

arkha mengerutkan kening. "dan menurut lo dengan kehadiran gue ada yang bakal berubah?"

yang terlontar dari bibir karin hanya satu kata, sebuah jawaban yang singkat namun mampu membuat arkha seolah kehilangan kendali atas dirinya.

"iya."

—angkasa—

karin dalam beberapa bulan terakhir, tak pernah menyangka akan kembali ke rumah tua di hadapannya ini.

ia melenggang masuk sembari mengingatkan diri akan memori yang tersisa.

ini rumah peninggalan nenek danilo. karin baru sekali datang ke sini dan itu sudah berbulan-bulan lalu, mungkin hampir satu tahun. saat itu ia hadir untuk menemani danilo yang sedang berkabung atas kepergian sang nenek.

dan semua orang tahu, danilo begitu mencintai neneknya. maka ketika sang nenek pergi, yang tersisa hanyalah rumah bergaya kuno yang dibeli leluhurnya puluhan mungkin ratusan tahun lalu. begitulah bagaimana karin bisa berakhir menyusuri rumah ini untuk mencari danilo.

tidak sulit menemukan danilo, rumah ini tak terlalu besar dan kalau ada ruangan tempat danilo mendekam menghindari masalahnya, itu sudah pasti ruang duduk neneknya.

karin berjalan agak takut menghampiri danilo. mungkin karena suasana mencekam di rumah ini, atau mungkin juga karena ia belum siap menemui pria itu.

ia menepuk pelan punggung danilo yang sedang meringkuk di pojok ruangan, membelakangi dirinya. dan jika boleh jujur, ia cukup terkejut danilo masih bangun dan bisa berbalik menghadapnya.

sorot mata pria itu membuat perasannya berkecamuk. ada perasaan kecewa, sedih, marah, dan takut yang bercampur jadi satu. danilo seolah sedang sekarat, wajahnya benar-benar pucat pasi.

—adiksi—

adiksi | ryusukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang