"wih, apartnya anak psikologi."
"rapi kan?" tanya arkha dengan nada sombong, sembari membawa setumpuk buku di tangan.
arkha menjatuhkan buku-buku tebal tadi di meja. sementara dirinya memposisikan diri di sofa, di sebelah karin yang sedang duduk tak tahu aturan di rumah orang.
padahal ini baru pertama kalinya karin masuk apartemen arkha, tapi ia sudah berani sekali duduk menyila di sofa. beruntung arkha tak mempermasalahkan itu, mungkin memang karena mereka sudah mengenal selama dua tahun. jadi walaupun itu pertama kali karin berkunjung ke rumahnya, arkha tak masalah karena ia sudah kenal cukup baik dengan gadis itu.
karin berdeham pelan dan membuang pandangan. "ya, harus gue akui sih, lebih rapi dari apart gue."
arkha tersenyum penuh kemenangan, ia merasa bangga apartemennya diakui rapi. dari sekian ribu pertempuran dan perdebatan mereka, sepertinya baru kali ini ia merasa benar-benar menang karena diakui.
"oke, kita mulai?" tanya arkha mengalihkan topik.
karin mengangguk tanpa memandang arkha, netranya sibuk menelusuri setiap sudut apartemen arkha.
"lo pernah ke psikolog sebelumnya?"
"iyalah, dari mana gue dapet obat penenang kalo bukan dari psikolog," jawab karin ketus.
si pemuda berusaha menahan kekesalannya dengan fokus pada pertanyaan selanjutnya. "lo kapan pertama kali ke psikolog?"
seraya memejamkan mata, karin berusaha menerabas kembali memorinya. "lupa, waktu gue 15 atau 16 tahun."
tangan arkha mulai menari di atas kertas, mencatat sesi konseling mereka secara mendetail.
"waktu itu lo udah tahu kalo lo kena anxiety?"
karin tampak berpikir sebentar, tak yakin dengan jawabannya. "mungkin, prediksi gue gitu sih, gue sempet searching di google."
"dan kata psikolog yang lo temuin, dia bilang lo kena anxiety?" tanya arkha lagi, kini dengan pandangan yang seratus persen terfokus pada catatannya.
"GAD lebih tepatnya. dia bilang, gejala yang gue alamin udah cukup parah."
kini fokus arkha berubah, dengan alis yang naik sebelah, ia bertanya penasaran, "gejala pertama lo gimana?"
"eum, waktu itu gue lagi nangis. terus tiba-tiba gue ga bisa nafas. badan gue nyeri, terutama punggung sama kaki. gue juga keringetan tiba-tiba." walaupun sangat enggan mengulas memorinya, karin menjawab dengan sangat mendetail.
"dan lo dapet obat penenang setelah konseling sama psikolog?"
"iya, dia bilang karena anxiety gue udah cukup parah, gue harus siap sedia obat penenang."
arkha kembali mengangguk-angguk. untuk beberapa menit ia kembali mencatat apa yang dilontarkan karin dengan sangat mendetail.
"terakhir, siapa aja yang tahu tentang ini? selain gue maksudnya."
"ga banyak sih, cuma eva, sama kating yang tinggal di lantai atas. gue pernah ga sengaja kambuh waktu lagi bareng mereka."
arkha mengangguk pelan dan mendongak. bibirnya mengulas senyum senang. "ini udah cukup buat sesi wawancara pertama lo. udah pas tiga puluh menit juga."
karin bangkit berdiri dari duduknya.
"oke, good luck sama skripsi lo!" ujarnya sebelum berjalan keluar dari apartemen arkha.
arkha tersenyum simpul memandang punggung gadis itu yang mulai menjauh dari pandangannya. namun kemudian ia kembali duduk dengan wajah termenung.
sejujurnya arkha tidak puas dengan sesi konseling tadi. ia paling ingin tahu tentang penyebab gadis itu mempunyai GAD. namun tentu saja, pertanyaan itu tertahan di benaknya. arkha tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari bahwa karin gugup karena berusaha menghindari pertanyaan itu sejak tadi.
—adiksi—
KAMU SEDANG MEMBACA
adiksi | ryusuk
Fanfiction❝semesta menjadi saksi, akan realisasi, bahwa kamu adalah adiksi❞ ft. ryujin itzy and hyunsuk treasure a' universe, eight book.