"Apel? Mau bahas apa sih?"
Bagaimana tidak kesal, Zea baru saja tiba dan ada apel dadakan. Senang sih karena melewati satu jam pelajaran, tapi sebagai gantinya harus panas-panasan. Belum lagi pagi ini mentari lebih ceria dari biasanya.
"Kemarin sih gue dengar ada yang berantem sore-sore sampai ngerusak beberapa fasilitas sekolah, dan itu lumayan rame," ungkap Wanda sembari membenarkan ikat rambutnya.
"Terus hubungannya sama kita apa?"
"Orang-orangnya belum ketahuan siapa, dan pasti bakal diceramahin juga lah walaupun kita ga salah apa-apa."
"Eh Jen, Juk, tumben berdua doang?" sapa Vanka yang melihat dua cowok itu menuju lapangan. Keduanya mengangkat bahu bersamaan.
"Arik belum datang, telat mungkin," ucap Jeno.
"Jopan, bagi jajan dong!" seru Juki dengan tidak tahu tempat dan tidak tahu dirinya. Dipikir Vanka itu emaknya apa?!
Ah, iya. Vanka masih mempunyai permen di sakunya. Langsung saja ia melemparkan permen itu ke arah Jeno dan Juki. Bagus, mereka rebutan lagi seperti biasanya.
"Jeno itu gue yang minta!"
"Gue yang nangkep."
"Ya ga bisa gitu dong, punya gue sini balikin."
Jeno bersikap abai dan hendak membuka bungkus permen. Sebelum permen itu mencecap bibir Jeno, Juki lebih dulu menggoyang tangan cowok itu hingga permennya terjatuh.
"Kan, jatoh! Lo ih Juk permen gue jatoh. Ganti!"
"Permen lo bibir bibirmu. Tepatnya itu punya gue dan lo rampas."
Dan berlanjut ribut tanpa ujung. Alih-alih memerhatikan mereka, mata Zea justru berpendar mencari satu sosok. Seseorang yang sebenarnya Zea juga bingung kenapa dicari. Untuk apa? Tidak ada hubungannya dengan Zea juga.
Apel dimulai.
Niatnya sih mau abai saja. Tapi kenapa Zea tidak bisa? Apel sudah hampir usai, tapi Zea masih belum melihat batang hidung cowok itu. Apa ia bersembunyi di kelas?
Ah, persetan. Untuk apa juga peduli.
Sampai akhirnya apel usai, Zea masih tidak fokus. Beberapa kali diajak mengobrol oleh Vanka, Khansa, dan Wanda pun, Zea hanya terkekeh, menjawab satu kata, intinya dia benar-benar seperti bukan Zea.
"Ze, lo kenapa? Lagi ada pikiran?" tanya Wanda yang tidak dihiraukan Zea.
Karena Zea tak kunjung menjawab, Khansa dan Vanka pun memanggil nama cewek itu.
"Zea!"
"Hah?"
"Lo lagi ada pikiran?"
Mereka semua menghentikan langkah. Yang dilakukan pemilik nama Zea itu hanya mengerjap sembari mengumpulkan kesadaran.
"Ze?"
"Aaa E-enggak kok. Gue cuma lagi ngingetin tugas presentasi tadi udah masuk flashdisk atau belum."
"Astaga, gitu doang lo pikirin gue pikir kenapa."
***
Zea pikir, dia akan menemukan cowok itu di ruang kelas. Nyatanya, kursi cowok itu kosong. Entah kenapa, tapi dia merasa murung. Biasanya, sesampainya Zea di kelas sudah ada sepasang mata yang menatapnya. Astaga. Mikir apa sih, Ze!
Cewek itu bergegas menuju tempat duduknya. Aneh. Padahal cowok itu hanya seorang Keenan Alarikh. Kenapa Zea harus peduli alasan cowok itu tidak sekolah? Kan, yang menyukai di sini itu Alarikh, bukan Zea.

KAMU SEDANG MEMBACA
Never Started (Complete)
Teen Fiction-Mereka lupa, kalau syarat suatu hubungan itu saling menerima kekurangan- ---------------------------------------------------- Kisah klise tentang cinta monyet anak SMA. Tentang bagaimana semua rasa suka Keenan Alarikh dipertunjukkan. Tentang bagaim...