"Lo yang mutusin apa diputusin Rik?" tanya Vanka antusias. Kali ini, cewek itu telah duduk di samping Alarikh dan terus mengajukan pertanyaan.
"Mutusin lah!" jawab Alarikh tidak santai. Padahal kan, Vanka hanya bertanya.
Dari tempat duduknya, Zea dan Khansa sama-sama memerhatikan dalam diam. Yang satu kesenangan karena akhirnya Alarikh putus, yang satunya merutuki cowok itu.
'Oh, jadi putus sama Nesya. Pantas aja deketin gue lagi,' batin Zea dengan tatapan datar. Jadi, Zea itu apa? Mainan gitu? Oh, pilihan kedua? Menyebalkan.
"Akhirnya ... Kan, enggak bakalan lama," ucap Khansa kepada Zea, namun sangat pelan, takut ada yang mendengar. Wanda pun hari ini tidak masuk sekolah, jadi belakang Khansa dan Zea kosong saat ini.
Zea menatap Khansa, tatapan yang sulit dimengerti. "Nih lagi satu malah kesenengan."
"Oh iya Ze, kok Alarikh bisa duduk sini tadi? Ya lumayan sih bisa kecipratan wanginya dia, tapi kan tetap aja gue cemburu liat kalian dekat kayak tadi," ucap Khansa lagi setelah cukup lama Zea tidak menggubris ucapannya.
Helaan napas keluar, andai Khansa tahu, saat cewek itu berkata seperti tadi, Zea merasa menjadi orang yang sangat sangat jahat. "Sorry," lirihnya sungguh-sungguh.
"Enggak perlu gitu juga kali, gue paham, ya walaupun masih agak sakit hati sih."
Zea tersenyum kecut, lantas memberi isyarat bahwa Vanka datang melalui lirikan matanya. Khansa pun mengerti, lantas mereka mengubah topik menjadi kucing di rumah tetangganya Zea yang baru saja melahirkan.
"Bahas apaan sih serius banget?" tanya Vanka sembari duduk di tempatnya. Sepi rasanya saat Wanda tidak masuk sekolah. Dia bisa-bisa mendadak jadi pendiam.
"Itu, kucing tetangganya Zea lahiran, padahal katanya kucing cowo. Aneh, kan?" tutur Khansa kelewat ngawur.
Vanka menyipitkan matanya, tidak percaya. Lantas berkata, "Lagi ngomongin doinya Khansa ya? Masih enggak mau kasih tau gue gitu?"
Tuh, kan. Khansa sih, ngawurnya kelewatan. "Van, nanti malem mending lo mangkal deh, gue lagi butuh duit," ucap Zea mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ogah, sama lo dicariinnya kakek-kakek."
"Semakin tua semakin berpengalaman, Van."
"Kok lo tau Ze? Wah ... curiga nih gue!" ujar Khansa sembari menyilangkan kedua tangannya. Bertingkah seperti ibu yang menangkap basah anaknya maling duit.
"Kenapa? Mau minta ajarin lo?"
Lantas mereka bertiga tertawa kompak mendengar ucapan Zea barusan. Tenang tenang, Zea hanya bergurau. Nanti, tunggu ada bpom nya dulu.
"Hahahaha ... gila otaknya Zea kayaknya butuh diruqyah!" seru Vanka masih tertawa.
"Apaan dah otak kalian tuh yang mikirnya kotor-kotor. Kan maksud gue abang-abang ojek, semakin tua semakin berpengalaman bawa penumpangnya. Astaghfirullah, ampunilah dosa kedua teman hamba Ya Allah," dalih Zea sembari mengangkat kedua tangannya, membentuk pose berdoa.
Kompak, kepalanya didorong oleh kedua temannya. "Yeee ngeles aja lo!" sorak keduanya bersamaan, tanpa terencana. Yang disoraki hanya nyengir kuda tanpa wajah bersalah.
Sial.
Dari tadi juga Zea merasa ada yang memerhatikan, dan benar saja saat matanya bertumbukan dengan milik Alarikh. Cowok itu tersenyum pula. Zea kaget tentunya, tapi tak ayal senyuman tetap melekat di bibirnya. Sadar akan apa yang ia lakukan, Zea mengalihkan tatapan ke arah Vanka, gugup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Started (Complete)
Teen Fiction-Mereka lupa, kalau syarat suatu hubungan itu saling menerima kekurangan- ---------------------------------------------------- Kisah klise tentang cinta monyet anak SMA. Tentang bagaimana semua rasa suka Keenan Alarikh dipertunjukkan. Tentang bagaim...