20

17 6 0
                                        

"Ekhem ... makin deket aja lo sama Alarikh," sindir Khansa ketika mereka hanya berdua di dalam kelas. Sudah jam pulang, Wanda dan Vanka sudah lebih dulu keluar tadi. Khansa dan Zea sudah janjian untuk pulang bersama naik bus.

"Lo cemburu?" tanya Zea yang langsung dihadiahi anggukan Khansa.

"Iyalah! Lo kan tau sendiri gue suka sama dia." Mereka berjalan bersisian keluar dari kelas selepas Zea menggendong ranselnya.

"Ya maaf. Masa gue harus diem-dieman sama temen sebangku gue sendiri."

Khansa memaklumi hal itu. Tapi tadi dia melihat dengan mata kepalanya sendiri gebetan dan sahabatnya itu tatap-tatapan. Mana adegan drama yang ia tonton sedih, ditambah melihat adegan itu, tambah deras air matanya mengalir.

"Lo beneran enggak suka sama Alarikh, kan Ze?" Khansa bertanya sembari melirik Zea sejenak. Yang ditanya cukup lama terdiam, memikirkan harus menjawab bagaimana. Andai dulu Zea saja yang lebih dulu cerita, mungkin tidak akan berakhir seperti ini.

"Memangnya kalau gue suka dia kenapa?" Pertanyaan yang muncul dari bibir Zea berhasil menghentikan langkah Khansa detik itu juga. Zea ikut berhenti, menyamping untuk melihat reaksi Khansa lebih jelas. Cewek itu terkejut, kelopak matanya terbuka lebih lebar, dan ... nampak jelas raut sedih di wajah cewek itu. Mana tega Zea melihat sahabatnya seperti ini.

"Serius?" cicit Khansa masih tidak percaya. Dia benar-benar kaget. Haruskah dia kembali merelakan orang yang dia sukai? Dan kali ini, untuk sahabatnya sendiri? Selucu itu kah nasib Khansa?

Zea mengulas senyum hangat, lalu mengapit lengan Khansa, membuat cewek itu terkejut. "Enggak lah! Mana mungkin gue ambil gebetan sahabat sendiri, lo tenang aja, gue enggak suka Alarikh." Setelah dilihatnya Khansa kembali tersenyum cerah, Zea menghela napas lega. Meski saat mengatakan 'tidak suka' hatinya menolak dan cukup sakit, Zea tetap merasa lega karena Khansa kembali tersenyum. Takutnya, kalau Khansa tahu Zea menyukai Alarikh, apalagi Alarikh sepertinya menyukai Zea juga, hubungan mereka yang akan renggang. Zea sangat sangat menghargai keberadaan Khansa. Dia tentu lebih memilih sahabatnya, walaupun sakit rasanya.

"Gue pikir lo beneran suka," kekeh Khansa dan mereka kembali melanjutkan langkah yang sempat tertunda.

"Lo sesuka itu ya, sama dia?" tanya Zea benar-benar ingin tahu.

"Iya!" jawab Khansa tanpa berpikir dua kali, membuat Zea merasa tidak enak. Mempunyai perasaan pada Alarikh saat ini, membuat Zea merasa sebagai orang jahat. Padahal tidak begitu sepenuhnya.

"Lebih suka Alarikh, atau Rey?"

Khansa tampak berpikir, lalu tersenyum malu-malu. Menunggu jawaban Khansa, entah mengapa membuat jantung Zea berpacu lebih cepat. "Sama ... Rey, sih. Lo tau gue suka Alarikh baru-baru ini, tapi Rey udah lama. Sayang aja dia enggak pernah lirik gue. Ya iyalah, dia hampir sempurna begitu, mana mau sama gue yang biasa-biasa aja."

Mendengarnya, membuat sisi egois Zea bergejolak. Bukankah lebih mudah bagi Khansa untuk melupakan Alarikh? Sepertinya, perasaan cewek itu belum sepenuhnya tertambat pada Alarikh, masih bercabang. Tapi ... bukankah Khansa baru sembuh? Tidakkah jahat untuk memintanya melupakan lagi? Astaga. Berpikir apa Zea ini!

***

"Maksud lo, Zaid itu deket sama Zea?" Alarikh langsung menanyakan pada kedua temannya mengenai cowok yang tadi duduk dengan Zea di kelas. Sebenarnya Alarikh sudah bertanya sejak tadi, tapi Juki dan Jeno tidak tahu apa-apa. Alhasil ia meminta kedua cowok itu untuk mencari tahu dengan embel-embel akan ditraktir makan. Dan malam ini, baru dapat jawabannya. Mereka berkumpul di cafe yang cukup terkenal.

"Ya begitulah. Menurut info yang gue sama Juki dapat sih, Zaid itu temen cowok paling deketnya Zea," ujar Jeno setelah menyesap minumannya.

"Mereka enggak pacaran, kan?"

Juki mengangkat tangannya, menahan Jeno yang hendak menjawab pertanyaan Alarikh. "Bentar dulu, gue nambah boleh, kan?"

"Serah, jawab aja pertanyaan gue!"

"Sip! Jelasin Jen," perintahnya pada Jeno, sedangkan ia kembali memesan tambahan makanan.

"Kalau berita pastinya sih belum ada, tapi banyak yang mengasumsikan mereka pacaran. Kayak deket banget gitu, mana Zea kan bukan tipe yang mudah gaul sama cowok, tapi sama Zaid dia deket banget, sering ngobrol berdua. Contekan aja kadang temen yang lain enggak dikasih, tapi Zaid dikasih." Jeno menjelaskan panjang lebar, lalu kembali menyuap makanannya. Juki di sampingnya sudah tidak sepenuhnya peduli, makanan-makanan ini benar-benar memanjakan lidahnya sampai lupa dunia. Tapi bohong.

"Ngobrol berdua kayak mana? Tahun kemarin kan dia sekelas sama Wanda sama Khansa juga, masa sih lebih sering ngobrol sama Zaid?" Air muka Alarikh semakin tidak enak dilihat. Berita yang dibawa teman-temannya benar-benar merusak mood.

"Ya ... enggak lebih sering sama Zaid juga lah! Tapi, mereka sering kalau ngobrol mojok-mojok berdua. Haduh, ngapain tuh." Langsung saja tangan Juki mendorong kepala Jeno yang baru saja berkata itu ke samping. Membuat protesan kecil keluar dari mulut Jeno.

"Lo kalau ngomong liat orang juga lah, bego. Ini Alarikh, yang suka sama Zea, jangan lo panas-panasin begitu, bisa enggak dibayarin makanan kita." Lantas Juki memandang Alarikh dengan cengirannya. "Enggak Rik, santai aja. Mereka memang deket, tapi sebelum ada kabar jadian, gas aja terus. Yang deket belum tentu yang dapet."

Telat. Perasaan Alarikh sudah keburu kesal. "Gigi lo tuh ada cabe," ucapnya sembari berdiri, bersiap untuk pergi. Sedangkan Juki buru-buru membuka kamera ponselnya untuk berkaca, dan ternyata benar saja ada cabai di gigi depannya. Aduh, kalau dilihat cewek-cewek Bisa kabur duluan. Kan bahaya.

"Heh mau kemana lo? Bayar dulu ini!" seru Jeno yang melihat Alarikh sudah berdiri. Cowok itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu.

"Tuh, kalau kurang tambahin duit lo berdua aja."

"Siap Mas Arik! Besok-besok minta tolong sama kita aja, tapi bayarannya dinaikin lah ya."

"Punya temen tapi enggak tau diri, gini amat nasib gue."

***

Hari ini, Alarikh kembali tidak masuk sekolah tanpa alasan. Zea bingung cowok itu ke mana. Mungkin beberapa orang tidak peduli, tapi Zea peduli. Orang kalau sudah begitu, pasti ada apa-apa. Ini terlalu sering jika alasannya hanya malas.

"Ze, lo tau dia ke mana?" Khansa tiba-tiba saja sudah duduk di tempat Alarikh yang kosong, samping Zea.

"Enggak. Kenapa juga dia harus kabarin gue?"

"Chat coba."

"Kok gue? Kan lo yang kepo!" Padahal dalam hatinya Zea senang-senang saja disuruh bertanya.

"Kan lo temen duduknya, lebih aneh kalau gue yang nge-chat."

"Iya sih," ucapnya sedikit berpikir. Tangan Zea sudah memegang ponselnya, namun kembali diletakkan sembari berkata, "Ah, besok-besok aja deh Sa, kalau dia masih enggak masuk."

Entahlah. Zea merasa aneh saja jika ia tiba-tiba bertanya cowok itu ke mana. Yang ada nanti Alarikh kesenengan karena dicariin!

Never Started (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang