13

24 5 0
                                        

"Ya." Singkat. Jelas. Padat. Nyakit.

"Seriusan?! Wahhh gue minta PJ pokoknya! Sekelas deh Rik, buat merayakan hari bahagia lo!" seru Vanka kegirangan, tanpa ia ketahui hati salah satu temannya sedang berbunyi tanpa suara membuat luka tak kasat mata.

Konsekuensi mendengarnya langsung, ya ini. Hati Zea sakit rasanya. Dia merasa malu. Malu dengan ekspektasinya selama ini.

Benar kata Jeno kemarin, bukan salah Alarikh. Tapi salah ekspektasi Zea saja. Yah, Zea berharap ketinggian sepertinya.

Lagi, entah apa maunya, Alarikh kembali menatap Zea. Zea benci tatapan itu. Tatapan seolah merasa bersalah. Kalau merasa bersalah, untuk apa repot-repot menyakiti Zea seperti ini? Ah, sudahlah. Pasti lagi-lagi Zea yang berekspektasi ketinggian.

Kali ini tatapan itu lebih dulu diputus oleh Zea. Ia memilih untuk mengobrol dengan Wanda mengenai pekerjaan rumah mereka semalam. Hebat. Padahal dalam hatinya sedang tidak baik-baik saja. Sudahlah. Zea merasa tidak pantas merasa tersakiti sekarang.

***

Kalau dulu Zea dibuat senyum-senyum sendiri akibat ditatap Alarikh, sekarang ia merasa risih. Untuk apa Alarikh menatapnya terus? Toh sekarang dia sudah punya pacar. Hits lagi anaknya. Zea mah kalah jauh, pantas langsung tersisihkan.

"Ze pinjem penghapus dong!" seru Vanka dari kursi di belakangnya.

Zea memberikannya begitu saja. Tatapan Alarikh sungguh mengganggu. Kalau saja Zea tidak tahu malu, ia sudah berteriak saat ini juga. Seperti ini kurang lebih;

"Ngapain lo masih natap-natap gue?! Mau gue colok mata lo? Udah sana urus aja cewek lo itu, tatap aja fotonya yang cantik badai paripurna shining shimmering splendid glowing ngalahin matahari. Dipikir gue seneng lo tatap begitu terus? Enggak ya sorry, kesel gue malah sekarang. Cowok macam apa lo yang omongan, hati, sama tindakannya enggak sinkron. Liat aja gue bakal move on dari lo secepat kilat!"

Ah, kenapa jadi terdengar Zea miris seperti itu? Tapi ya memang miris, sih. Ya walaupun ga termiris sedunia juga.

***

Tuh, kan. Yang ditakutkan Alarikh terjadi. Makin susah mendekati Zea. Ya siapa juga yang mau merendahkan harga dirinya begitu? Apalagi cewek itu Zea? Sangat tidak mungkin.

Alarikh sudah punya pacar, terus kalau Alarikh terus mendekati Zea, apa kata orang? Pasti yang akan lebih dihujat nanti Zea. Dianggap pelakor lah, perusak hubungan lah, selingkuhan lah, simpanan lah. Ya namanya juga mulut manusia, kalau enggak sibuk makan, sibuk ngomongin orang. Enggak semua sih, tapi kebanyakan gitu.

Nesya ❤: Nanti istirahat ke kelas aku okey!

"Mentang-mentang punya pacar," cibir Juki dari tempat duduknya. Jelas saja cowok itu bisa membaca pesan yang dikirimkan Nesya, kan kecerahan layar Alarikh layaknya layar hp emak-emak. Tidak selalu, tapi sering.

"Sopankah begitu depan jomblo?" tambah Jeno yang tidak digubris sama sekali oleh Alarikh. Cowok itu hanya mengetikkan pesan balasan untuk Nesya yang mengatakan ia akan datang, lalu sudah.

Ia memilih merebahkan kepala ke atas meja, beralas buku yang terbuka. Posisi kepalanya menatap Zea, sudah kebiasaan. Susah kalau sudah terbiasa untuk dihentikan. Apalagi urusannya sama Zea, susah susah.

Never Started (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang