18

18 5 0
                                    

"Gue lempar sepatu lo mau?!"

Bukan. Bukan Zea yang berucap begitu, melainkan Alarikh.

Vanka tentu langsung menatap aneh cowok yang tiba-tiba meneriakinya itu. Lagipula Vanka tidak menyinggung Alarikh sama sekali, kok. "Lo kenapa Rik?" tanyanya kebingungan.

Netra Alarikh bekerja lebih cepat, berusaha mencari alasan kilat agar Vanka dan Zea tidak curiga. Bagus, dia mendapatkan alasan yang tepat. "Woy Raf, lo bilang kemaren-kemaren mau beliin gue bola, mana?! Udah lama banget ini. Gue sumpel kaus kaki juga mulut enggak tepat janji lo itu!" marahnya pada Rafa yang baru saja memasuki kelas.

Lantas cowok itu berjalan melalui Vanka, seolah sejak tadi dia memang tidak berkata kepada cewek itu. Tidak lupa untuk menyeret kedua teman laknatnya ikut ke arah Rafa.

"Mati lo berdua, liat aja!" desis Alarikh yang merasa teramat dongkol.

"Loh, katanya enggak usah?" bingung Rafa pasalnya terakhir kali cowok itu mengatakan tidak perlu membelikan bola, kenapa mendadak berubah pikiran?

"Kapan gue bilang enggak? Ih lo mah enggak pekaan."

Di lain sisi, Vanka justru merasa aneh. Dia jelas-jelas merasa Alarikh barusan menatapnya tajam penuh hasrat membunuh. "Aneh, tadi gue jelas-jelas lihat dia natap mata gue, kenapa jadi ke Rafa?" monolognya kebingungan.

"Masa sih?" tanya Zea basa-basi. Dia tentu tidak sebodoh itu untuk dibohongi. Jelas-jelas dia melihat Alarikh marah dulu, baru Rafa masuk kelas. Posisi Vanka yang membelakangi Rafa jelas tidak menyadarinya.

***

Jam kosong biasanya terasa menyenangkan, namun kali ini entah mengapa sangat membosankan bagi Zea. Vanka sibuk ngebucin, Wanda dan Khansa sibuk ngedrakor, dan Zea hanya bisa menatap satu persatu teman sekelasnya tanpa minat.

Teman sebangkunya, Alarikh juga sudah tidak di tempat. Ya setidaknya lebih baik daripada cowok itu duduk di sampingnya. Yang ada Zea bisa jantungan. Tiba-tiba saja ia teringat kejadian tadi pagi, lantas tersenyum kecil. Entahlah, jika diingat Alarikh tadi cukup lucu. Layaknya cowok yang kebakaran jenggot karena pacarnya mau diambil orang. Padahal mereka bukan siapa-siapa.

"Wanda selalu sibuk gitu, ya?" Zea terperanjat dan duduk tegak ketika mendengar seseorang berbicara di sampingnya.

Zaid, ketua kelas XII IPA 3 tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. Mereka tahun lalu berada di kelas yang sama, dan cukup dekat juga karena Zaid langganan nyontek tugas Zea. Absen mereka juga tetanggaan, jadi kalau ulangan satu dua tiga empat lima sepuluh soal Zaid sering bertanya, meski kerap tidak diberi jua oleh Zea.

"Ngapain anak Ipa tiga di sini?"

"Wih ... lupa ya lo sama temen sendiri. Sini kenalan dulu, nama gue Za--"

"Enggak usah, enggak perlu, dan enggak butuh."

"Oke," balas Zaid tidak kalah singkatnya, lantas kembali menatapi Wanda yang sedang serius menatap layar laptopnya bersama Khansa.

"Masih belum berani lo deketin Wanda? Mau kapan lagi? Gue cape ya jadi mak comblang tapi ga jadi-jadi gini." Iya, sejak satu tahun yang lalu Zaid meminta bantuan Zea untuk dekat dengan Wanda. Tapi sampai sekarang hasilnya nol, kalah jauh sama kapal RafaNka (Rafa Vanka).

Never Started (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang