28

15 5 0
                                    

Mobil Alarikh tidak bisa melaju terlalu cepat akibat hujan, belum lagi kemacetan yang tidak mengenal henti. Membuat perjalanan menuju rumah Zea saja memakan waktu cukup lama.

"Ze, dingin?" tanya cowok itu begitu lampu merah menyala. Tentu saja Zea tidak merasa dingin, justru harusnya Zea yang bertanya seperti itu. Sebagian baju cowok itu basah karena tadi tidak terlindung payung, belum lagi jaketnya yang malah sampai sekarang diserahkan ke Zea.

"Harusnya gue yang tanya gitu ke lo. Ini, lo pakai aja jaketnya, gue enggak kedinginan kok." Zea melepaskan jaket Alarikh lalu mengulurkannya ke arah cowok itu. Namun Alarikh enggan untuk menerima dan memilih kembali menjalankan mobilnya.

Pegal karena tidak juga disambut ulurannya, Zea kembali membawa jaket itu ke pangkuan. "Pakai lagi aja, dingin," ucap Alarikh seolah tidak mendengar apa yang tadi Zea ucapkan. Ya sudah kalau Alarikh memaksa, padahal kan Zea cuma kasian karena baju Alarikh basah.

Cewek itu menyampirkan jaket Alarikh ke tubuhnya, membuat Alarikh yang meliriknya jadi tersenyum. Pokoknya Zea tidak boleh sakit. Kalau sakit nanti tidak sekolah, kalau tidak sekolah, nanti Alarikh tidak bisa melihatnya. Bukankah Alarikh juga yang rugi jadinya?

"Ze, cita-cita lo apa?" Entah apa motifnya Alarikh bertanya seperti itu, yang jelas Zea cukup terkejut dibuatnya. Kalau orang lain yang bertanya, mungkin Zea tidak akan menanggapi seperti ini. Tapi ini Alarikh, yang tugas saja selalu minta contekan sama Zea!

"Hah? Cita-cita?" Zea tidak punya masalah dengan pendengarannya, hanya saja untuk memastikan. Bisa saja kan dia salah dengar akibat suara hujan yang sebenarnya teredam.

Anggukan cowok yang sedang fokus mengemudi itu menandakan kalau Zea tidak salah dengar. Yah, tidak ada pilihan lain selain menjawabnya saja, bukan? "Dokter."

"Dokter?" Mendengar cita-citanya saja Alarikh sudah insecure duluan. Entahlah. Tiba-tiba Alarikh merasa kecil disandingkan dengan Zea.

Zea mengangguk membenarkan. Mungkin beberapa orang bercita-cita menjadi dokter hanya ikut-ikutan, atau karena belum tahu cita-cita yang sebenarnya. Tapi Zea berbeda. Dia memang menginginkan profesi itu sejak awal masuk SMA. Itu juga salah satu alasan dia memilih jurusan IPA.

"Lo sendiri?"

"Jadi orang sukses!" jawab Alarikh membuat Zea meliriknya jengah. Cowok ini pasti belum mengetahui tujuannya setelah lulus SMA. Padahal hari itu tinggal menghitung bulan lagi.

"Lo masih belum tau?"

Kan, Alarikh kembali merasa kecil. Zea sudah mempersiapkan masa depannya sejak awal, sedangkan Alarikh sudah mau lulus sekolah saja masih bingung akan mengambil jurusan apa. Cita-cita saja belum jelas. Yang selalu dia pikirkan adalah, 'Pekerjaan yang kuliahnya mudah, tidak lama, tapi gajinya bagus'. Mustahil?

Karena Alarikh masih diam, membuat Zea menyimpulkan sendiri jawabannya. Tentu saja iya. "Oh iya, mama lo gimana?" Bukan tidak mau melanjutkan obrolan mengenai cita-cita, hanya saja Zea takut salah bicara.

Zea itu baik, pintar, cantik, pengertian lagi. Apa pantas Alarikh bersanding dengannya? Di mata cewek-cewek nanti mungkin Zea sangat beruntung berada di dekat Alarikh. Padahal, Alarikh lah yang beruntung. Bisa dekat seperti ini saja dia sudah sangat beruntung. Menjadi kekasih cewek itu? Sepertinya Alarikh hanya bermimpi.

"Baik, dia juga udah mulai kerja lagi. Gue akan lebih kuat lagi buat mama gue." Zea tersenyum mendengarnya.

Bagi guru-guru mungkin Alarikh hanya siswa nakal yang masih sering membolos di kelas tingkat akhirnya. Bagi cewek-cewek Alarikh itu tampan dan pacarable banget. Tapi bagi Zea, Alarikh itu bebas, terbuka, mudah bergaul, tampan, kuat hatinya, dan dia sangat menyayangi keluarga, terutama mamanya. Satu lagi, bucin.

Siapa pun yang nantinya bersanding dengan Alarikh, dia perempuan beruntung. Nesya contohnya. Cewek itu sudah pernah memiliki Alarikh, walaupun tidak terlalu lama. Zea juga beruntung, bisa mengenal Alarikh lebih dari yang biasa cowok itu perlihatkan. Zea merasa beruntung menjadi cewek yang dipercayai oleh Alarikh. Bersanding dengan Alarikh? Entahlah. Zea memang sudah menyukai cowok di sampingnya ini, tapi terlalu rasanya tembok penghalang. Khansa dan sekeliling cowok itu contohnya. Alarikh dikelilingi cewek-cewek cantik. Iya, dia tidak percaya diri dan terlalu takut mendengarkan pendapat orang lain nantinya. Zea kalah jauh sama cewek-cewek di sekeliling Alarikh yang bening-bening itu.

"Ze, lo pinter banget ya." Entah inisiatif dari mana, Alarikh kembali mengungkit kecerdasan yang Zea miliki.

"Enggak, masih banyak yang di atas gue." Jawaban Zea membuat kedua sudut bibir Alarikh terangkat.

"Gue yakin Ze, lo bisa jadi dokter suatu hari nanti. Lo udah belajar dengan giat, gue liat sendiri."

Zea tersenyum mendengarnya. Rasanya kerja kerasmu dipuji oleh orang yang kamu sayangi, akan terdengar sangat berharga. Senang sekali. "Lo juga, pasti akan jadi orang sukses suatu hari. Tapi, jangan lupa usahanya."

"Siap ibu dokter cantik!"

Sial, embel-embel cantik di ujungnya itu berefek fatal dan bisa menyebabkan sakit jantung serius. Oh, satu lagi. Bisa berakibat terkena sindrom yang bernama butterfly sindrom.

Mereka hanya teman, tapi saling menyimpan rasa. Walau tidak terikat hubungan, karena tidak pantas dirasa.

***

"Gue pernah tanya sama Zea, dia ada niat buat pacaran atau enggak, dan katanya pacaran itu bukan nunggu niatnya, tapi nunggu pasangannya." Alarikh duduk manis menyimak apa yang Zaid katakan. Pertanyaan pertama yang langsung ia tanyakan adalah, 'Zea pernah bilang mau pacaran?'.

"Berarti kalau ada pasangannya, dia mau pacaran?"

"Bisa jadi." Kalau biasanya Alarikh akan berteriak kegirangan, kali ini cowok itu hanya berekspresi datar. Membuat kerutan samar tercetak di dahi Zaid. "Lo enggak mau nembak Zea juga?"

Alarikh menghembuskan napas berat, lalu menyandarkan punggungnya ke dinding. "Gue jadi ragu."

"Lo raguin Zea jadi pacar lo? Dia kurang apa?" Tentu saja Zaid sebagai teman dekat Zea tidak terima kalau memang yang dimaksud Alarikh adalah menganggap rendah seorang Zea.

"Bukan Zeanya, tapi guenya." Nampak mata cowok itu yang terpejam beberapa detik, seolah menggambarkan kalau ia benar-benar dilema.

"Lo insecure?"

"Zea orangnya gimana?" Alih-alih menjawab, Alarikh malah melemparkan pertanyaan lain.

"Baik, cantik, jutek sih kalau baru kenal, tapi kalau udah dekat asik anaknya, pinter, lumayan ambisius sih kalau urusan cita-citanya, ah ... andai enggak ada Wanda, gue udah suka sama Zea dari lama."

"Gue pantas enggak buat Zea?" Zaid menatap Alarikh serius, memindai cowok itu dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Gelengan kepala Zaid membuat Alarikh kembali merasa tidak percaya diri. "Kalau mau dibilang pantas, lo enggak pantas buat Zea. Zea itu pinter, pengetahuannya luas, sedangkan lo tukang bolos." Zaid kembali menatap ke depan. "Tapi, hubungan itu nantinya antara lo sama dia, bukan lo sama gue. Jadi, yang bisa bilang pantas atau enggaknya, cuma pasangan lo. Gue cuma melihat dari sudut pandang gue, bisa jadi sudut pandang dia beda."

"Tetap aja Zea pantas dapet yang lebih dari gue."

"Lo serius mau ngelepas Zea gitu aja?"

Belum ada jawaban dari Alarikh atas pertanyaan tersebut. Cowok itu benar-benar aneh. Baru beberapa hari yang lalu mengungkapkan perasaannya melalui sebuah lagu, sekarang sudah ingin menyerah begitu saja?

(((-)))

IH SUMPAH YAKK GA KERASA BANGET DEH AKU NGERJAIN DRAFT INI, bukan bukann bukan ngerjain sii, tapi ngepublish tepatnya🙂

Beneran dehh ga boong ini tinggal beberapa bab lagi kelar tamat selesai end, wkwkwkwkk.

Oke selamat jumat malam everything!

-One n only Baekhyun's girl

Never Started (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang