21

16 5 0
                                    

Dua hari, bahkan tiga hari Alarikh kembali tidak masuk sekolah. Ia bahkan dipanggil ke BK akibat semakin jarang masuk sekolah. Ujian semakin dekat, pun begitu dengan kelulusan. Siswa-siswi lain sudah bersiap-siap untuk memasuki universitas, sedangkan cowok itu semakin malas saja masuk sekolah. Wali kelas, guru BK, bahkan wakil kepala sekolah pun kewalahan menghadapi cowok satu ini.

Setiap ditanya kenapa jarang masuk, cowok itu hanya menjawab, "Bangun kesiangan bu." Ya kalau tidak begitu, jawabannya diajak teman saya pergi. Selalu begitu, sampai guru-guru pun hapal.

"Arik kamu tau kan, kamu udah kelas akhir? Teman-teman kamu sibuk siapin buat masuk universitas, kamu enggak pengen?" tanya Bu Ghina lembut, selaku wali kelas cowok itu. Alarikh hanya diam, tanpa minat untuk menjawab. "Kamu ada apa? Cerita aja sama kami." Guru yang lain pun mengangguk menyetujui.

Di luar, Zea dan Khansa diam-diam mendengarkan. Mereka membawa setumpuk buku tugas yang kebetulan diminta untuk diletakkan ke ruang bk. "Sa, kayaknya enggak baik deh kita nguping gini, kalau masalah pribadi gimana?" tanya Zea setengah berbisik agar tidak didengar mereka yang di dalam. "Lo tau kan, bk bukan ruang sembarangan? Beberapa hal di sini itu privasi." Selepas mengatakan itu, Zea mengetuk pintu tanpa mendengar persetujuan atau penolakan dari Khansa.

"Iya masuk." Seorang guru menyahuti dari dalam, membuat Zea memutar gagang pintu. Tatapannya bertumbuk dengan Alarikh. Dari matanya saja Zea mengerti, ada sesuatu. Alarikh nampak tidak baik-baik saja.

"Maaf pak, bu, mau kumpulin tugas dari Pak Ardi," ucap Khansa yang kemudian diberi perintah oleh Pak Ardi untuk diletakkan saja di mejanya.

Khansa dan Zea meletakkan tumpukan buku itu, mengucapkan terima kasih, lalu kembali meninggalkan ruangan bk. Alarikh yang biasanya tak henti-henti menatap Zea sembari tersenyum, kali ini hanya berani menatapnya sekali. Itu pun dengan tatapan yang berbeda. Ada apa?

"Alarikh, kamu boleh keluar. Jangan terlalu sering bolos, atau kami enggak bisa melindungi lagi dan kamu terpaksa dikeluarkan dari sini." Zea mendengar dengan jelas kalimat itu tepat sebelum pintu ruang bk tertutup rapat.

"Sa, gue ke toilet bentar, lo duluan aja." Zea pergi, tapi bukan untuk mengejar Alarikh yang melangkah berlawanan arah dengan mereka. Khansa pun ikut pergi tanpa rasa curiga.

Sebenarnya, Zea tidak ke toilet. Tidak pula mengejar Alarikh. Yang ia lakukan hanyalah bersembunyi di balik pilar besar sampai Khansa dan Alarikh hilang dari pandangan. Barulah ia keluar, menunggu di depan ruang BK. Tanpa butuh waktu lama, orang yang ditunggunya keluar juga.

Bu Ghina.

***

"

Maaf bu, seperti yang saya bilang tadi, saya minta ibu ke sini untuk bahas soal Alarikh," terang Zea ketika mereka duduk di bangku taman sekolah. Taman saat ini terbilang sepi mengingat istirahat sebentar lahi usai.

"Iya, kamu mau bahas apa soal Alarikh? Kamu tau sesuatu?"

Kepala siswinya itu tergeleng, membuat Bu Ghina bertanya-tanya apa maksud Zea memintanya ke sini. "Saya enggak tau apa-apa soal Alarikh, tapi saya cuma mau kasih saran sama ibu. Sebelumnya, apa ibu orang yang bisa dipercaya?"

"Kamu mempertanyakan kejujuran saya?"

"Bukan begitu bu." Zea menggelengkan kepalanya pelan. "Justru karena saya percaya sama ibu, makanya saya meminta ibu, bukan guru yang lain."

Bu Ghina menggeser duduknya hingga lebih leluasa menatap Zea, menunjukkan ketertarikan mengenai apa yang akan siswinya ini katakan.

"Menurut yang saya lihat, masalah Alarikh ini masalah yang cukup privasi. Dengan mengumpulkan guru-guru dan berharap dia mengatakan yang terjadi, saya rasa enggak akan berjalan sempurna. Beberapa masalah memang lebih melegakan untuk berbagi, tapi bukan berarti berbagi ke banyak orang. Dia cuma butuh satu orang, yang benar-benar dia percaya."

"Jadi?"

"Saya harap ibu bisa membuat dia percaya, supaya dia bisa cerita. Cukup ibu saja, enggak perlu terlalu banyak orang, karena itu justru buat dia ngerasa enggak nyaman." Zea menatap Bu Ghina, sepertinya wali kelasnya itu sedang menimbang-nimbang sarannya. "Tapi, dengan dia mau cerita sama ibu, bukan berarti ibu bisa membocorkan cerita dia ke orang lain. Apalagi kalau itu masalah pribadinya. Ibu cukup menjelaskan garis besarnya aja ke guru lain supaya mereka mengerti, pasti guru lain akan memaklumi kalau mereka tau Alarikh udah cerita sama wali kelasnya. Ya saya yakin, ibu pasti mengerti maksud saya."

Bel masuk berbunyi, menandakan percakapan mereka harus usai sampai di sini.

"Mungkin hanya itu saran yang bisa saya kasih ke ibu, kalau ibu mau mempertimbangkannya saya akan lebih senang. Terima kasih atas waktunya bu." Zea berdiri, lalu membungkuk ke arah Bu Ghina. "Saya pamit bu."

***

Sesampainya di kelas, Zea mendapati Alarikh tertidur di tempatnya. Benar-benar tertidur, karena saat duduk di sampingnya Zea bisa mendengar dengkuran halus cowok itu. Ada apa sebenarnya? Apa yang disembunyikan Alarikh?

"Ze!" Khansa menghampiri setengah berteriak, lirikan Zea jatuh ke cowok di sampingnya. Membuat Khansa memelankan suaranya. "Kata anak sebelah nanti disuruh nyanyi berdua-berdua, lo sama gue, ya?" tanyanya dengan suara yang tentu lebih pelan.

"Nyanyi apaan?"

"Lagu bahasa inggris dong, kan mapel bahasa inggris sayang."

"Oke. Mau lagu apa?" Khansa langsung menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan satu judul lagu. Baik Zea mau pun Khansa sudah hapal lirik lagunya, ya walaupun lidah masih sering keseleo.

Tak lama, guru bahasa inggris pun memasuki kelas. Zea berbisik-bisik pelan membangunkan cowok di sampingnya. "Alarikh!"

Masih tidak ada sahutan. Cowok itu masih tenggelam dalam mimpinya.

"Alarikh!" panggil Zea lagi dan masih belum berbuah apa pun. Sang guru di depan sana mulai mengabsen satu persatu.

"Arik!" panggil Zea lagi, membuat cowok yang duduk di depan mereka ikut menoleh. Zea hanya tersenyum dan cowok itu kembali menatap ke depan.

Absen cowok itu semakin dekat. Tidak ada pilihan lain. Zea mencubit lengan Alarikh sekuat mungkin, sampai cowok itu terbangun tepat setelah namanya disebut. "IYA?!" ujarnya terkejut. Cubitan Zea terasa sakit, tapi yang lebih mencengangkan adalah sudah ada guru di depan sana dan posisi kelas sedang hening. Mendengar nada bicara Alarikh, semua mata kini tertuju padanya.

"Kamu tidur?" tanya gurunya.

Satu tangan Alarikh mengusap wajahnya, berusaha menarik setengah nyawanya yang masih tertinggal di alam mimpi. Tatapannya mengedar, dari Zea, ke teman-teman sekelasnya, terakhir ke gurunya. Barulah kemudian meminta maaf, "Maaf pak."

"Sana cuci muka dulu di luar." Alarikh pun menurut, dia mencuci wajah di wastafel yang memang disediakan di depan setiap kelas.

Setelah membasahi wajahnya dengan air, cowok itu tiba-tiba tersenyum. Mengingat Zea yang baru saja membangunkannya, tentu Alarikh merasa senang. Itu artinya cewek itu peduli padanya. Coba saja kalau yang duduk di sampingnya itu Juki atau Jeno, sudah dipastikan Alarikh tidak dibangunkan dan malah direkam supaya viral.

"Gue jadi makin yakin kalau gue enggak menyukai cewek yang salah, Ze," monolog cowok itu dengan nada suara tak lebih keras dari angin yang berhembus. Cukup Alarikh dan Allah saja yang tahu apa yang baru saja ia ucapkan.

Never Started (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang