22

13 6 0
                                    

"Arik, bisa ikut ibu sebentar?" tanya Bu Ghina selepas mengajar di XII IPA 5. Zea menoleh, menatap cowok di sampingnya yang sedang mengangguk lalu mengekori Bu Ghina keluar kelas.

"Mau diapain lagi Si Arik?" tanya Juki menatap punggung temannya yang perlahan menjauh.

"Mana gue tau, dari kemaren-kemaren juga kan Arik mana pernah ceritain ke kita." Jeno menimpali sembari memasukkan permen gagangnya ke dalam mulut.

"Sebenernya tuh anak kenapa, sih? Ngerasa enggak guna gue jadi temen dia."

Buk!

Suara buku yang diletakkan ke atas meja dengan sedikit membanting membuat kedua cowok itu menoleh. "Beberapa hal enggak bisa dengan mudah diceritain ke banyak orang, termasuk temannya." Zea sudah berdiri di samping meja kedua cowok itu. "Minta tolong kumpulin ke meja Bu Ghina, ya." Disusul teman-temannya yang lain ikut meletakkan buku ke atas meja kedua cowok itu.

"Itu artinya dia enggak percaya sama temannya, kan?" cetus Juki yang memang benar-benar merasa tidak berguna menjadi temannya Alarikh. "Teman itu harus saling mendukung, kalau dia enggak cerita masalahnya apa, gimana mau ngedukung?" lanjut cowok itu menatap Zea serius.

"Bukan enggak percaya. Tapi dia enggak sanggup, mungkin aja hal itu benar-benar berat untuk diceritain." Teman-temannya mulai tertarik untuk menonton, apalagi ini antara Zea yang cukup jarang berbicara selain dengan temannya, dan Juki yang bernotabene biang rusuhnya XII IPA 5. "Dan lo sendiri yang bilang teman harusnya saling mendukung, kenapa enggak lo coba kasih dia dukungan dan semangat, tanya baik-baik ada apa, ngertiin perasaan dia, bukannya omongin dia di belakang kayak gini." Zea menyilangkan kedua tangannya di depan dada, sedangkan Juki hanya diam mencerna tiap kata yang gebetan temannya ini katakan. "Ngasih semangat enggak perlu tau masalahnya apa, kok. Itu yang membuktikan kalau lo bener-bener peduli, bukan cuma kepo."

Setelahnya cewek itu melenggang pergi, membuat orang-orang melongo di tempat. Dia benar-benar Zea Alifa, kan? Zea yang biasanya hanya banyak bicara pada temannya itu? Dan ternyata, cewek itu benar-benar perhatian dan baik! Tapi yang aneh;

"Kok Zea peduli banget ya, sama masalah Arik?" Jeno yang lebih dulu menyuarakan isi pikiran beberapa teman-temannya.

"Zea memang lebih sensitif soal pertemanan, apalagi yang tipikal suka ngomongin di belakang. Yok Sa kantin, biarin aja Vanka ngebucin." Wanda merangkul lengan Khansa, hendak membawa temannya itu ke kantin.

"Yup, Wanda benar. Kalian enggak usah nyebar gossip enggak jelas ya habis ini, kasian temen gue!"

"WOY WOY WOY KOK ENGGAK AJAK GUE? SIAPA YANG BILANG GUE MAU NGEBUCIN, SIAPA?!" serobot Vanka tidak terima sembari menggebrak mejanya, membuat sedikit keributan dan mencairkan suasana yang tadi sempat menegang.

"Lo memang tiap hari ngebucin kan, sama Rafa?" ujar Wanda dengan santainya, membuat beragam tatapan tertuju ke arah Rafa dan Vanka. "Memang sih, enggak ada yang bilang kalau kalian jadian, tapi interaksi kalian tuh beda. Mana sampai lupa teman lagi, iya enggak Sa?" lanjut Wanda meminta dukungan Khansa yang langsung disetujui cewek itu.

"Doi yang lo sebut-sebut sama Zea itu, Rafa kan Van?"

Vanka diam dengan wajah memerah. Bukan Vanka banget! Biasanya dia akan menolak dengan berteriak, tapi sekarang ia hanya diam. Pun begitu dengan Rafa yang duduk tenang tanpa mau memberi klarifikasi.

"Tuh tuh liat muka Jopan merah! Wah!" Juki mulai memanas-manasi, biasalah.

"JUK LO DIEM YA!"

"Duh duh ampun ... tapi kok lo marah sih Pan? Marah, berarti iya, kan?"

"PIWIT COUPLE BARU KITA PJ PJ PJ!" Entong ikut menyahuti, diikuti teman-temannya yang lain.

"Apaan sih lo pada! Gue sama Rafa tuh temen! UDAH UDAH AYO KATANYA MAU KE KANTIN." Vanka menarik paksa kedua temannya, menyisakan sorak-sorakan karena nampak jelas cewek itu salah tingkah. "Awas lo ya Wan!" desisnya setelah terbebas dari ruang kelas XII IPA 5.

Never Started (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang