2

46 9 0
                                    

Selamat membaca❤

(((-)))

"Hah? Zea? Mana?"

Hah? Zea tidak salah dengar, kan? Kenapa bawa-bawa namanya? Kunyahan di mulutnya semakin lambat, lalu berhenti. Ia mencerna yang baru saja didengar. Kalau tidak salah, tadi cowok bernama Jeno mengatakan 'doi' lalu Alarikh menyebutkan nama Zea. Maksudnya apa?

Apa Alarikh membencinya?

Ah, tidak mungkin. Mereka tidak sedekat itu untuk saling membenci.

Atau ...

"Gila kodenya Jeno ditambah otak lemot Alarikh jadi perpaduan top buat membongkar rahasia." Zea tertarik untuk menguping sekumpulan cewek di samping mereka.

"Maksudnya? Ohh, paham gue! Alarikh suka sama itu, kan?" Zea yakin. Kalau dilihat, mereka pasti sedang menunjuk seseorang. Namun sayangnya, Zea tidak berani melirik, nanti ketahuan nguping.

Tapi kan, satu-satunya nama yang disebut Alarikh tadi hanya Zea. Zea belum katarak, kok.

Apa mungkin?

Tapi kan, mereka tidak pernah dekat. Selama ini setiap bertemu Alarikh, kerjaan Zea pasti hanya menggoda Wanda. Seketika ia menatap Wanda di depannya. "Wan, lo dengar nama gue disebut ga? Beberapa menit yang lalu."

Wanda mendongakkan kepalanya. "Hah?"

Zea melirik layar ponsel Wanda yang menampilkan video youtube sedang dipause. Ah, sedang fokus nonton idolanya. Pasti Wanda tidak mendengar apa pun. Kebiasaan.

"Enggak jadi. Lo pasti ga denger."

"Denger apaan? Bel masuk?"

"Bukan. Udah sana lanjut nonton lagi, gue masih mau mikir."

"Tumben lo mikir."

"Sopan lo begitu? Celengan dikasih nyawa gini nih jadinya." Wanda tak menghiraukan Zea dan kembali menonton idolanya. Terkadang dia tertawa sendiri, bahkan pernah sampai menangis. Intinya, Wanda bisa dicap gila bagi orang yang tidak paham.

Sedang asyik memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang 99 persen tidak mungkin itu, Alarikh tiba-tiba muncul membuat paru-paru Zea hendak meluruh.

"Hai Ze," sapa cowok itu. Zea masih diam, berusaha untuk tidak terlihat terkejut.

"Gue mau ganti pulpen lo, sesuai janji tadi."

Oke. Zea mengerjapkan matanya dua kali. Lalu mengambil sekotak pulpen itu, mengucapkan terima kasih, dan membenarkan tempat duduk menghadap Wanda.

"Oke, gue balik ya. See you."

Setelahnya Alarikh kembali ke meja teman-temannya. Dalam hati, Zea merutuki dirinya sendiri. Kalau saja dia tidak sedang berpikir, sudah dipastikan Zea akan menolak pulpen itu. Apalagi ini sekotak. Zea gila, ya?

Kenapa dia mendadak kaku begini?

***

Jam kosong itu seru. Apalagi sembari menonton cowok-cowok bermain sepak bola di lapangan sana. Zea, Vanka, Wanda, dan Khansa turut serta dalam cewek-cewek yang duduk di pinggir lapangan. Tentunya sambil ngerumpi sesekali, apalagi kalau ada adik kelas yang kecentilan lewat, sudah dipastikan dia jadi santapan utama. Ya begitulah tabiat cewek kebanyakan.

Never Started (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang