12. Saudara

108 30 1
                                    

Misella duduk di bangku kayu yang terdapat di taman kecil tepatnya di rooftop rumah sakit. Dengan melihat bintang yang berkilauan di langit, Misella harap ia bisa tenang sedikit saja. Sayangnya tidak bisa, Misella selalu berpikiran macam-macam tentang Mamanya. Greace sudah pulang lima belas menit setelah mengetahui kondisi Mama Misella dan Papanya belum juga datang.

“Apa anda sudah mengetahui penyakit yang diderita oleh pasien?”

“P-penyakit?” tanya Misella tergagap. Selama pindah ke Melbourne, Misella tidak pernah sekalipun ingin mengetahui keadaan orang di sekitarnya. Jangankan orang sekitar, dirinya sendiri bahkan dibiarkannya tidak terurus. Yang ia pikirkan hanya Renzha, Renzha, dan Renzha. 

Dokter itu mengangguk kemudian menghela nafas berat. “Penyakit Leukimia dan kini sudah mencapai stadium tiga. Pasien harus dirawat inap untuk mendapatkan perawatan yang intensif. Pasien juga harus segera melakukan kemoterapi. Tetapi sebelum itu kami harus mendapatkan persetujuan pasien dan pihak keluarga.”

Tubuh Misella oleng. Kakinya tidak kuat lagi untuk bertumpu saat mengetahui penyakit Mamanya. Mamanya menanggung rasa sakit yang amat dalam dan menyembunyikannya dengan hebat. Misella terduduk di kursi besi dengan air matanya yang siap meluncur.

“Kalau begitu saya permisi dulu. Kalian bisa memanggil saya jika pasien telah sadar.”

“Terima kasih, Dok.” Greace membungkuk hormat begitu pun dengan dokternya. Sedangkan Misella masih duduk di kursi itu. Ia berdiam diri dengan air mata yang terus turun dari matanya.

“Bodoh banget sih! Penyakit Mamanya sendiri aja gak tau. Gue durhaka banget ya jadi anak?” Misella terus saja merutuki dirinya yang semakin membuatnya menangis sakit hati. Anak macam apa Misella? Mamanya bahkan selalu ada disaat Misella butuh sandaran. Misella bahkan sama sekali tidak tahu dengan kesehatan Mamanya.

“Asha?” Seseorang menepuk pundaknya dengan lembut membuat Misella melirik ke samping.

“Derry? Ngapain disini?”

Derry menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Gue kira lo adik gue. Sorry deh,” ujarnya malu. Misella mengangguk lemah.

“Lo sendiri ngapain disini?”

“Mama gue sakit,” jawabnya.

“Sakit apa?”

“Leukimia stadium tiga.” Jantung Derry berpacu cepat. Tiba-tiba saja ia merasakan sesuatu yang.. entahlah sangat sulit untuk dijelaskan.

“Nama lengkap lo siapa, Sel?”
“Misella Anastasya. Kenapa sih?” tanya Misella ketus. Habisnya pembahasan Derry tidak nyambung sama sekali dengan topik awal.

“Siapa tau lu adik gue hehe..,” kekehnya pelan. “Habisnya penyakit Mama kita sama,” gumamnya dan tidak dapat didengar oleh Misella.

“Ngaco lo!”

“Ayo turun. Gue antar ke ruangan nyokap lo. Angin malam gak baik buat kesehatan,” ajak Derry berbaik hati. Ditariknya tangan Misella dengan lembut. Mereka lebih memilih menggunakan tangga daripada lift karena ruang rawatnya berada di dua lantai di bawah rooftop.

“Ini ruang Mama gue,” katanya serentak saat berada di ruangan yang bertuliskan ruang Sakura. Keduanya serempak diam sampai akhirnya Papa Misella membukakan pintu untuk mereka.

“Kalian gak masuk?”

“Hah?” ucap keduanya cengo.

“Tuh kan, Sel. Ini ruangan Mama gue. Ngawur lu,” ejek Derry setelah menyadari bahwa yang membukakan pintu adalah Papanya.

“Apasih? Yang di dalam itu Mama gue,” bantah Misella. Misella langsung masuk ke dalam dan duduk di sofa berwarna biru tua dengan kesal. Derry juga mengikutinya dan ikut duduk di sebelah Misella. “Astaga Misella. Lo itu salah ruangan.”

I Can't Stop Loving You || DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang