22. Dokter itu lagi

60 16 4
                                    

Dokter wanita yang menangani operasi Misella berjalan dengan dua suster di belakangnya. Nama Anggun Lestari tercetak jelas pada bordiran sebelah kanan jas putih yang selalu dipakainya kemana-mana. Ia sontak menghentikan langkahnya ketika mendengar suara-suara yang bisa membangkitkan amarah.

“Kalian ini bagaimana sih? Disuruh untuk mengulur waktu saja tidak bisa! Bagaimana dengan uang yang sudah saya berikan  kepada kalian? Kalian sama sekali tidak tahu diuntung.”

“Kami sudah mencoba untuk memperlambat operasinya, tapi tim kami terpaksa diganti.”

“Kenapa bisa diganti?! Saya kan sudah memperingatkan kalian agar tidak ada yang mengurus pasien itu selain kalian,” murkanya.

Ternyata benar, satu remaja SMA, empat orang suster dan seorang dokter laki-laki yang tampak berseteru. Lebih tepatnya, remaja SMA itu yang tak berhenti mencaci maki orang-orang yang menunduk di depannya. Sedangkan salah satu terkadang membela dirinya, mengatakan bahwa ia tidak melakukan kesalahan.

Mereka yang tadinya menatap lantai putih bersih rumah sakit kini membelalakkan matanya melihat dokter wanita berada di belakang remaja SMA yang tak kunjung sadar akan kehadiran orang lain. Dokter Anggun membalikkan remaja SMA itu hanya dengan menyentuh bahunya.

“Cukup, Sasya! Kamu sudah keterlaluan.  Mengapa kamu repot-repot memperkerjakan mereka hanya untuk melakukan rencana kotormu?”

“Saya tidak memerlukan saran dari anda! Cukup diam, tidak perlu berkomentar.” Sasya menatap nyalang dokter Anggun, seolah memberi sinyal peperangan. Sedangkan yang dokter Anggun lakukan hanyalah tersenyum tipis.

“Baiklah. Lanjutkan rencanamu yang sungguh hina itu,” tutur Dokter Anggun dengan tenang namun memperlihatkan pandangan meremehkan. “Dan jangan lupa satu hal, aku akan selalu ada disisi Misella. Aku akan melindunginya dari jebakan menjijikkanmu itu.”

“Oh, jadi anda yang menyelamatkan gadis itu? Mengapa anda terus saja bertingkah menyebalkan kepada saya?” tanya Sasya begitu berani. Wajah perempuan itu bahkan sudah sejajar dengan wajah Dokter Anggun. Ditatapnya Dokter Anggun dengan wajah sinis andalannya.

Dokter Anggun tertawa, tak habis pikir dengan tingkah remaja SMA ini. “Saya tidak akan bersikap seperti ini jika kamu tidak berulah.”

“Dan, kira-kira apa yang akan kau lakukan setelah ini? Masih mau menggunakan cara kotor seperti itu? Lebih baik jangan, kamu hanya menambah dosa. Kamu pikir dengan kelakuanmu yang seperti ini, Ibumu akan bangga padamu?” ujar Dokter Anggun mengungkit luka lama Sasya. Sasya mengepalkan tangannya, ia siap jika harus meninju dokter cantik di depannya saat ini juga.

“Jangan membawa-bawa nama Ibu saya! Beliau tidak ada hubungannya dengan ini,” tekan Sasya sedikit geram. Tangannya masih dibiarkannya mengepal.

Helaan nafas Dokter Anggun terdengar jelas oleh mereka semua yang sedari tadi hanya memerhatikan keduanya cekcok. Dokter Anggun menggapai satu tangan Sasya yang bergantung bebas, lalu menggenggamnya dengan penuh kelembutan.

“Kakak hanya gak mau kamu semakin terjerumus ke hal-hal buruk. Sekali ini saja, dengarkan kata Kakak. Kamu memang menganggap aku tak lebih dari kakak tiri, tetapi aku menganggapmu sebagai saudara sedarah, layaknya adik kandungku sendiri. Jangan lakukan lagi, ya?”

Akhirnya identitas dokter yang menyelamatkan Misella terbongkar. Anggun Lestari, kakak tiri dari Sasya Indriani yang merupakan teman dekat Keira. Ibu Sasya meninggal saat ia masih duduk di kelas 6 SD. Ibu Anggun yang merupakan sosok guru serta wali kelas Sasya, mengadopsi Sasya untuk menjadi anaknya.

Kehidupan Sasya berjalan dengan baik, sampai pada akhirnya ia bertemu dengan Ayah kandungnya yang telah menikah dengan selingkuhannya. Hidup Sasya hancur, ia kehilangan kendali dan berbuat jahat selalu dilakukannya, untuk Keira. Hanya untuk Keira.

Karena apa? Hanya Keira-lah yang ada disaat dia terpuruk.

Sasya menghempas tangan Dokter Anggun, sedikit kasar. “Anda memang Kakak saya dalam status keluarga. Di luar itu, kita hanyalah lawan. Karena kita punya tujuan yang berbeda.”

Setelah itu, Sasya pergi dan dengan sengaja ia menubruk bahu Dokter Anggun. Dokter Anggun menatap sebal punggung yang kini mulai menjauh.

“OKE! LAKUKAN SEMUA HAL YANG LO MAU! TERUS SAJA BERTINGKAH SEMAUMU!” Tubuh Dokter Anggun terhuyung ke belakang. Kepalanya sedikit pusing. Untungnya suster disana menahan tubuhnya agar ia tidak jatuh ke lantai rumah sakit yang kelewat dingin.

***

Misella membuka matanya perlahan. Ia mengerjap-kerjapkan matanya, mencoba menyesuaikan cahaya ruangan dan memperjelas penglihatannya. Setelah beberapa menit terlewati, dilihatnya Greace dan Derry yang menatap cemas kepadanya. Ia menarik sudut bibirnya perlahan agar terlihat baik-baik saja.

Misella menoleh ke arah samping dan tersenyum saat mendapati Gino yang terbaring di brankarnya sendiri. Gino memang tidak pulang. Lebih tepatnya, ia memaksa kepada Dokter Anggun untuk dirawat di rumah sakit agar bisa menemani Misella. Dokter baik hati itu menyetujuinya dengan syarat; Gino harus tetap mengerjakan tugas sekolahnya.

“Dia kenapa?” tanya Misella agak pelan. Aneh rasanya berbicara dalam kondisi baru saja siuman.

“Donorkan darah buat kamu. Tiga kantong loh,” jawab Derry menggebu. Ia terlihat menyeramkan saat mengangkat tiga jari dengan tampang konyolnya. Misella dan Greace jadi bingung apa itu menyeramkan atau konyol.

Misella mengangguk sesaat lalu kembali menoleh ke arah Gino. Mengapa pria itu baik sekali kepadanya?

“Keadaan Mama?”

“Sama seperti terakhir kali,” ucap Derry lesu.

“Papa ada?”

“Gue udah menyuruh orang kepercayaan gue untuk cari keberadaan bokap lo. Lo tenang aja,” sahut Greace mengelus tangan Misella yang terbebas dari selang infus. Yang lagi-lagi Misella lakukan adalah mengangguk.

Tak lama, suara derit pintu dan langkah kaki beberapa orang terdengar. Rupanya Dokter Anggun datang membawa makan malam untuk Misella dan Gino. Ia tersenyum pada Misella dan segera memeriksa keadaan gadis itu. Tak lupa sang dokter menyuruh susternya untuk membangunkan Gino yang terlelap sangat pulas.

“Masih ingat sama saya, Asya?” tanya Dokter Anggun ketika menyuntikkan sebuah obat pereda nyeri ke selang infus Misella. Dahi Misella mengkerut, mencoba mengingat siapa orang yang memeriksanya sekarang ini. Tanpa sengaja, mata Misella melirik pada bordiran nama pada jas putih milik Dokter Anggun.

“Loh, Kak Tari? Udah jadi dokter sekarang? Hebat banget,” puji Misella dengan senyum gembiranya.

Dulu Dokter Anggun hanyalah seorang suster gang ditugaskan menjaga ruang kesehatan di sekolah Misella saat SMP. Mereka cukup akrab karena dulu Misella mempunyai penyakit anemia dan menjadi langganan Dokter Anggun. Mungkin terbilang setiap hari Misella tidur di ruang kesehatan, atau sekadar merebahkan dirinya, kadang ia juga mengobrol santai pada Dokter Anggun yang dipanggilnya dengan panggilan spesial, Kak Tari.

Dulu Misella memang seperti itu. Setiap orang terdekatnya akan memiliki nama panggilan spesial. Tapi ... tidak untuk sekarang. Nama tidak terlalu penting. Bagi Misella yang sekarang, yang terpenting hanyalah karakter dan perilaku seseorang.

***

Halo..

Gak ada yang nyangka kan kalau Sasya adalah pelaku sebenarnya?

Maka dari itu, selalu tunggu notifikasi dari cerita ini dan jangan lupa untuk masukin ke reading list kalian. Pastikan kalian vote dan komen cerita ini yaa sebagai bentuk support buat aku:)

Kalau bisa, share ke teman-teman kalian ya..

See you next chapter❤

I Can't Stop Loving You || DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang