19. Kertas, peluru dan dokter

62 19 5
                                    

Misella membuka pintu ruangan mamanya dengan pelan. Brankar mamanya menjadi tujuan untuk ia melangkah. Digenggamnya tangan dingin dan wajah pucat itu. Mamanya masih terlihat cantik membuatnya ingin menangis saja.

“Tenang aja, Ma. Asya dan Greace sudah menemukan petunjuk yang menjadikan kita yakin bahwa dalang sebenarnya itu ada.”

Misella mengalihkan pandangannya kepada kakak laki-lakinya yang sedang tertidur pulas di sofa. Dihampirinya lelaki itu dan mengusap lembut surai hitam legam miliknya. “Bang, bangun gih. Ntar pegal loh kalau tidur di sofa.”

Derry menggeram pelan dan menggeliatkan tubuhnya. Sedetik kemudian ia kembali tertidur bahkan suara dengkuran yang awalnya kecil lama-kelamaan menjadi besar. Misella tersenyum melihat kelakuan abangnya itu.

Dia pergi menuju lemari yang lumayan besar yang terletak di sudut ruangan. Diambilnya beberapa bantal dan selimut untuk Derry dan juga untuknya. Setelah memperbaiki posisi tidur Derry agar ia merasa nyaman, Misella memakaikan selimut tebal itu ke tubuh Derry yang hanya terbalut kaos hitam tanpa jaket sebagai pelindungnya.

Misella bersandar pada sofa yang ditiduri Derry. Ia menerawang jauh pada masa lalu dan masa sekarang. Gadis itu tengah memikirkan ayahnya sekarang. Kemana perginya sang Ayah ketika Ibu mereka terbaring kaku dengan mesin elektrokardiograf yang terus berbunyi disampingnya. Tidak mungkinkan jika Ayahnya kembali pergi meninggalkannya?

Misella menggeleng, mengusir semua pikiran jahat di otaknya. Tanpa sadar, ia tertidur meninggalkan seseorang yang terus memperhatikannya lalu menaruh secarik kertas di atas nakas.

***

Misella keluar dari kamar mandi lengkap dengan seragam sekolahnya. Hari ini merupakan hari Senin, ia jadi malas untuk sekolah. Ia menyisir rambut panjangnya yang setengah kering sambil berjalan ke arah Derry.

“Bang, bangun. Bangun gak?” Misella menggoyang-goyangkan badan Derry. Dengan terpaksa Derry bangun dari tidurnya dengan muka cemberut.

“Mandi sana. Habis itu kita sarapan,” suruh Misella. Derry tidak menurutinya dan hanya duduk seraya mengucek matanya. Misella menarik tangan Derry untuk bangkit dari sana lalu mendorongnya masuk ke kamar mandi.

“Gak sabaran lu ah,” gerutu Derry.

“Kalau udah selesai bilang. Nanti gue ambilkan seragam,” ujar Misella berjalan menuju pemanas air untuk menyeduh minuman hangat penambah sarapan pagi ini. Jika kalian bertanya, kenapa tidak membawa masuk seragamnya saat ingin mandi seperti yang dilakukan Misella?

Hal itu sangat tidak diperbolehkan oleh Misella. Bisa-bisanya bajunya akan basah semua atau mungkin terjatuh di lantai yang basah karena Derry mengaitkan bajunya tidak benar atau ia tidak sengaja menyenggolnya. Hal itu sudah sering terjadi.

Seusai menaruh minuman hangat untuk mereka di atas meja yang berhadapan dengan sofa, Misella berniat ingin mengambil roti dan beberapa makanan lainnya yang disimpannya di laci nakas. Ia tertegun mendapatkan sebuah kertas dengan tulisan berwarna merah.

“JANGAN CARI AKU!”

Misella tiba-tiba merasakan sesak di bagian dadanya. Ia memukul pelan dada kirinya dan berusaha menahan rasa pening di kepalanya.

“MISELL, BAJU GUE MANA?!”

“MISELLA?!”

“WOI LU DIMANA BEGO?!”

Derry merasakan sesuatu yang tidak enak. Dengan cepat ia memakai baju yang kemarin dikenakannya. Itu lebih baik daripada harus keluar menggunakan handuk mini. Saat keluar, betapa terkejutnya ia melihat Misella tergeletak dengan darah yang membanjiri tubuhnya.

Sesudah sadar dari keterkejutannya, Derry membopong tubuh Misella dan berteriak memanggil para ahli medis. Misella dengan segera dibawa ke ruang operasi. Derry ingin masuk namun ditahan oleh para suster. Derry hanya duduk diam di depan ruang operasi. Tak lupa ia mengabari teman-temannya untuk segera datang.

Tak lama kemudian, Greace datang sendiri. Pakaiannya yang tampak formal membuat Derry penasaran. Teman-teman yang lain juga datang dengan keadaan seragam sekolah yang acak-acakan bahkan Gino yang selalu rapi kini tidak menggunakan dasi dan bajunya dikeluarkan.

“Penampilan kita gak penting. Gue mau tau gimana kronologi kejadiannya,” ucap Greace saat tahu bahwa Derry meneliti penampilan mereka.

“Gue gak tau, Greace. Gue ada di kamar mandi saat itu dan saat gue teriak manggil Misella, dia sama sekali gak menyahut. Gue keluar dan mendapati dia dengan banyak darah di tubuhnya,” jelas Derry. Derry tampak gugup saat menjelaskannya. Bagaimana tidak? Ini masih pagi dan ada saja hal yang membuatnya sangat terkejut.

“Jadi kita bolos berjamaah nih?” tanya Sandra kepada yang lain.

“Gue bakal bikin surat izin kita. Gak apa-apa dengan alasan yang sama, yang penting kita jujur kalau Misella sedang berjuang di dalam sana.” Mata Greace menyorot sendu melihat pintu ruang operasi yang sedikit transparan.

Pintu terbuka, sekitar tiga orang berlari melewati mereka begitu saja. Satu orang lagi menyusul dengan wajah tegang dan berhenti tepat di depan Derry dan teman-temannya.

“Pasien mengalami kekurangan darah karena luka tembakan yang bersarang di dekat jantungnya. Keadaan pasien kini buruk. Kami sedang mengecek persediaan darah di rumah sakit ini. Karena tidak yakin, saya harap diantara kalian ada yang bisa mendonorkan darahnya kepada pasien.”

“Saya Kakaknya, Sus. Tapi saya kurang tahu apa golongan darah kami sama atau tidak,” sahut Derry segera berdiri dari duduknya.

“Golongan darah pasien yaitu B.”

“Saya akan mendonorkan darah saya, Sus. Ambil sebanyak-banyaknya agar pasien bisa selamat,” kata Gino.

“Apakah tidak ada lagi, setidaknya dua atau satu orang?” tanya Suster itu. “Perkiraan saya, darah yang akan diambil cukup banyak sekitar dua atau tiga kantong darah. Atau mungkin empat jika pendarahan di dalam tak kunjung berhenti.”

“Tidak usah pakai teori. Cepat donorkan darah saya,” ujar Gino. Cowok itu kesal karena suster di depannya ini banyak bicara. Sudah jelas-jelas ia tahu keadaan pasien sedang kritis, namun mengapa ia seperti mengulur waktu?

Gino masuk ke dalam ruang operasi tanpa menunggu suster yang tampak ketakutan sekarang.

Sedangkan di dalam ruang operasi, para dokter sudah cukup berkeringat. Tubuh serta tangannya yang memegang satu alat medis untuk mengeluarkan peluru di dekat jantung Misella, semakin bergetar hebat. Ia ketakutan.

“S-saya tidak bisa menolong gadis ini.”

Dokter wanita masuk bersama suster kepercayaannya. “Jika tidak bisa, saya yang akan menggantikannya.”

Dokter itu dengan lincah mengeluarkan peluru dari gadis yang terbaring kaku dengan selang oksigen. Ia tersenyum tipis pada gadis itu meski Misella tak melihatnya. Namun di alam bawah sadarnya, Misella merasakan ketulusan yang tak terduga.

Sebenarnya, hari ini kenapa?

***

Main tebak-tebakan yukk!

1. Siapa yang mencoba membunuh Misella?

2. Kenapa sang dokter tersenyum?

jawab guys biar next part updatenya cepet:)

I Can't Stop Loving You || DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang