Zeke: Jealous Guy

4.4K 504 209
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Aku menyusuri Pelabuhan bersama adikku Zofia, beserta kawannya, Gabi Braun. Aku sudah berjanji akan mengajak kedua bocah itu jalan-jalan dan jajan es krim di hari ulang tahunku.

Ya. Ini adalah hari ulang tahunku yang ke dua puluh tahun. Aku sudah berniat mengundang Zeke untuk jamuan makan malam keluarga, namun si janggut itu terlalu sibuk dengan urusannya.

"Harganya dua dollar." Ucap sang penjual es krim.

"Biar aku saja yang membayarnya." Selak sebuah suara familiar dari balik punggungku.

"Porco!" Aku melonjak kaget. "Tidak usah, aku—"

"Oh ayolah, ini hari ulang tahunmu, kan?" Dia tertawa, telapak tangannya mengelus kepalaku.

"Eh—"

"Terima kasih, Tuan Galliard!" Zofia mendekap lengan pria itu, entah kenapa tapi aku malu sendiri melihatnya.

"Tak masalah, Zofia." Jawabnya, lalu kami melanjutkan langkah dengan hening.

Gabi dan Zofia mendahului, sedangkan Porco tidak nampak berniat untuk bergabung dengan mereka. Alih-alih, dia justru memelankan langkahnya untuk menjajariku.

"Jadi.."

"Ya?" Aku menoleh menatapnya.

"Apa Zeke benar-benar belum mengunjungimu sama sekali hari ini?"

Hening, lalu aku mengangguk pelan. "Belum.. Kudengar dia sibuk di Kantor Pusat."

"Begitu?"

Kurasakan matanya menerawang, kemudian tangannya yang besar meraih tanganku. Porco tersenyum, aku membalasnya— Sekedar basa-basi.

"Aku jadi berpikir, apakah dia benar-benar menyukaimu, (Y/N)?"

"Aku benar-benar menyukainya, tuh?" Suara itu menyelak dari balik punggungku, dan kami langsung menoleh untuk menemui pemilik dari suara itu.

"T-Tuan Yeager!" Aku melepaskan tangan Porco dariku dan berlari ke arahnya.

"Hai. Selamat ulang tahun." Dia memelukku sambil terkikik, dan mengeluarkan sebatang mawar dari saku jasnya. "Sudah kubilang, panggil aku dengan nama depanku. Keras kepala sekali, sih?"

"T-Tapi.."

"Datang juga kau," Porco menepuk pundak sang Senior lalu mengacungkan jempolnya padaku. "Dia akan datang kalau wanitanya di ganggu orang lain. Yang tadi itu, aku hanya bercanda, loh."

"Aku memang berniat untuk datang, dasar sok jago." Cibir Zeke.

"Terserah." Ujar Porco sambil melambai padaku. "Nah, kalau dia berani macam-macam, beritahukan aku, ya. Sampai jumpa, kalian!"

Dengan cepat bocah itu menghilang dari hadapan kami. Kini yang tersisa di antara aku dan Zeke hanyalah keheningan.

Bisa kudapati wajahnya agak muram, lalu saat matanya menemuiku, pria itu mendecak sebal. "Menyebalkan sekali."

"Eh?"

"Bocah itu." Zeke menenggelamkan wajahnya di leherku. "Aku tidak suka jika kau terlalu dekatnya, kau tahu."

"Hubunganku dan Porco hanya sebatas kawan kecil, Zeke." Lirihku sambil balik memeluknya. Kini kurasakan wajahnya memanas di leherku.

"Pokoknya aku tidak senang.."

"Dasar monyet," Aku meninju dadanya pelan, dia tertawa. "Aku tidak menyukainya ke arah yang seperti itu."

"Lain cerita kalau dia." Pria itu terus menyerangku, tak mau kalah.

"Porco melihatku seperti adik perempuannya, Zeke."

"Bohong sekali, mana ada yang seperti itu. Berpegangan tangan, menepuk kepala, mencuri pandang diam-diam.. Dia pasti ingin mencurimu, (Y/N)!"

"M-Mencuriku?" Aku memuntahkan tawa, membuat pria itu memerah.

"Mencurimu dariku!" Raungnya, frustasi.

"Hey, dengar.."

"Dengar apanya? Kau tahu kan aku sangat kesal? Lihat saja wajah cengengesannya itu. Rasanya ingin kulempar ke ujung dunia."

"Kau cemburu?"

"Aku cemburu. Tentu saja."

Aku berjinjit untuk mengecupnya, namun tubuhku terlalu boncel untuk menjajari wajahnya— Atau mungkin dia yang terlalu tinggi.

Dia tidak bereaksi, seakan-akan ia sengaja membuatku kesal sendiri. Tapi tidak sepertinya yang tukang ngomel-ngomel, aku hanya menyerah dan terhuyung mundur.

"Kau nyebelin, (Y/N)." Pria itu maju dan mencubit pipiku. Kepalanya tertunduk, memohon supaya aku mengecupnya .

Tidak semudah itu, janggut.

"Kenapa kau menunduk, huh? Lehermu pegal?" Aku menyeringai.

"Cium." Dia mengguncang bahuku, rautnya manja seperti anak kecil. "Aku mau cium."

"Orang-orang akan lihat."

"Masa bodoh. Cepat cium."

"Nanti."

"Aku mau sekarang."

"Nanti."

"Pacarku ini kenapa keras kepala banget, sih?"

Bibir pria itu menempel pada bibirku. Aku dapat mendengar bisik-bisik samar dari orang-orang yang berlalu di sekeliling kami. Zeke tahu itu, tapi dia malah semakin menjadi-jadi.

"Malam ini, di rumahmu?" Bisiknya saat menarik wajahnya.

"Kau ingin membuat Ayah mengamuk?" Aku memerah. Kurasakan lututku melemas.

"Dasar mesum." Zeke menertawaiku.

"K-Kau?! Dasar jahil!"

"Maksudku, makan malamnya, Pacarku. Kemarin Zofia menyapaku saat berpapasan di perjalanan, katanya keluargamu ingin mengundangku, bukan?"

"...Ya. Di rumahku. Ibu bilang padaku untuk mengundangmu sesekali."

"Ibu sudah tahu?"

"Zofia yang membocorkannya. Aku sudah menyogoknya dengan es krim tapi dia masih saja.."

"Kalau begitu bagus, dong?" Zeke mengangkat daguku dengan jarinya, dan kemudian dia tersenyum. "Aku senang."

"Tadi katanya kau kesal,"

"Aku berubah pikiran.." Dia menggeleng dan mengecup keningku. "Maaf soal yang tadi. Aku sayang pacarku."

"Kau tahu aku juga sayang padamu, Monyet."

"Aduh, itu kasar."

"Maaf."

"Pengampunan dariku tidak gratis."

"Zeke, sejak kapan kau jadi mata duitan?"

"Kau tidak perlu membayarnya dengan uang."

"Kau pasti minta hal-hal aneh,"

"Tidak, kok?"

"Lalu? Apa?"

"Cium aku. Persis seperti aku menciummu tadi."

"Di sini?"

"Ya. Di sini. Di tempat ini. Sekarang."

"Tapi orang-orang.."

"Aku sengaja karena ingin mereka tahu. Jadi, tidak ada yang mengganggu wanitaku lagi. Tidak boleh."

Aku menciumnya. Bukan sekedar untuk dimaafkan— Tapi karena aku sungguh ingin menciumnya. "Kau memaafkanku?"

"Aku memang tidak marah, sih.. Hehe."

?!?!?!

Dasar usil!

SNK x Reader Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang