Levi: My Spoiled Brat

2.7K 278 17
                                    

AU

Sebenernya aku mau bikin book sendiri tentang story ini. Mungkin nanti, tunggu libur semesteran cuz kuliah sangat melelahkan *plak* malah curhat ( ꈨຶ ˙̫̮ ꈨຶ ).

Hehe, enjoy!

***

(Y/F/N), anak manja, berisik, pemalas yang penuh semangat serta keras kepala, berpacaran dengan Levi Ackerman, pemuda yang kaku dan dingin, tetapi murid teladan. Dilihat dari sisi mana pun, mereka tidak cocok. Tapi itulah kenyataannya. Mereka saling mencintai.

Tidak sedikit guru yang mendukung mereka, terutama guru-guru kelas dua, karena (Y/N) adalah siswi kelas dua. Kenapa? Yah..

"Jadi, tinggal aku kalikan saja?"

"Ya." Levi menuding ke arah rumus yang berliku-liku yang pacarnya itu baru saja tulis. "Lalu, hasil dari pengurangan yang sudah kau kalikan itu, turunkan lagi ke sebelah sini."

"Huh? Begitu saja?"

"Iya."

(Y/N) mendesah frustasi. "Ya ampun, ini gila. Ini nggak masuk akal."

"Apanya yang nggak masuk akal?"

"Aku menulis rumus-rumus ini selama lima belas menit lebih, dan hanya segini yang kudapat? Omong kosong!"

Karena kesal, Levi menyerang kening perempuan itu dengan pensilnya-- pelan, tidak serius. "Kau tinggal tutup mulutmu dan ikuti saja, (Y/N). Ini tidak sulit."

"Tidak sulit? Enak sekali bicaramu, dasar cebol--"

Serangan kedua.

"A-Aduh!"

"Bukankah kita sudah berjanji akan masuk ke universitas yang sama?"

"Iya, iya. Aku tahu~" (Y/N) mengiyakan dengan nada yang sedikit diayun. Cowok mana pun akan tergoda mendengarnya, tetapi Levi malah bereaksi dengan memutar bola matanya. "Bukannya aku nggak mau berusaha, tapi ini sangat memusingkan, ditambah kemarin baru saja selesai UTS. Stress berat aku ini."

Levi, yang merupakan siswa kelas tiga, sudah tidak perlu lagi risau karena dia telah diterima di universitas tersebut. Sekarang tinggal (Y/N) yang harus berjuang memperbaiki nilainya yang amburadul jika dia ingin lanjut kuliah bersama cowok itu; (Y/N) tidak ingin berpisah darinya.

Ketika (Y/N) menenggelamkan kepalanya ke atas meja dengan kedua mata berkaca-kaca, terlintas sedikit rasa iba di hati Levi, tetapi dia berusaha sekuat mungkin agar tidak goyah. Pikirannya kembali memelesat pada ingatan tentang selembar kertas ujian matematika dengan tinta merah, menuliskan angka 30 di ujung kanan atasnya.

"Istirahatlah sejenak. Kita lanjutkan lagi nanti." Levi menghela napas, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Yang benar? Hore!" Pekik gadis itu, mendadak kembali bersemangat.

"Iya, tapi jangan berisik. Ini perpustakaan." Geram Levi, membekap mulutnya.

(Y/N) mengangguk-angguk kecil sambil menatap lurus ke arah wajah pacarnya itu. Dari matanya, semua orang bisa langsung tahu seberapa tulusnya perempuan itu kepada Levi, begitu juga sebaliknya.

"Levi?"

"Hm."

"Kalau misalnya.. ini misalnya, loh. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi tetap nggak keterima di universitas negeri tujuan kita.. apa itu berarti kita putus?"

"Kau maunya putus atau tidak?"

"Aku nggak mau putus denganmu!"

"Kalau begitu, kita nggak usah putus."

"Tapi kalau menurut keinginanmu, Levi.. kamu keberatan, nggak, kalau harus berhubungan jarak jauh begitu denganku?"

"Nggak ada juga alasan kenapa kita harus putus hanya karena itu. Aku bisa pulang sesekali kalau liburan."

"Kalau kamu bosan?"

"Kalau aku bosan? Aku bisa belajar, atau merapihkan kamar kos-kosanku."

"Serius? Kamu nggak akan selingkuh?"

Levi mendecak. "Cih. Ngelantur apa, sih, bocah ini?"

"Jawab!" Gerutu (Y/N), penuh keseriusan.

"Baik, baik. Dengarkan aku, anak nakal." Levi menghembuskan napas panjang, lalu menarik tubuh perempuan itu hingga terduduk di atas pangkuannya, mengabaikan kenyataan bahwa mereka masih berada di wilayah sekolah-- lagipula penjaga perpustakaan sedang tidur. Akan baik-baik saja asalkan mereka tidak gaduh. "Aku nggak akan selingkuh. Nggak ada alasan untukku mengkhianatimu."

"Kenapa?"

"Kenapa apanya? Sudah jelas. Aku mencintaimu." Bisik Levi di kupingnya, dia benar-benar serius, tapi sayang saja (Y/N) tidak terlalu mendengarkan perkataannya.

"Kau.. sori, apa?"

Levi geram, menghela napas. "Kau benar-benar ada masalah di pendengaranmu. Sebaiknya sepulang belajar, kita mampir ke klinik dulu."

"Apanya? Suaramu memang nggak jelas, tahu?!"

"Aku bilang," Levi bangun dari duduknya dan berbalik ke arah pintu keluar, wajahnya memerah. "Aku mau beli air."

"Apa? Bohong! Nggak nyambung!"

"Siap-siap saja. Setelah aku kembali dari mesin minuman, kita pulang."

"Eh? Sudah selesai?"

"Memangnya kau masih mau belajar?"

"N-Nggak!"

"Makanya. Ayo pulang. Aku mau mampir makan ramen."

"Serius? Hore! Ayo!"

"Aku nggak ngajak kau."

"Apa? Jahat!"

"Bercanda."

"Aku pulang saja, deh."

"Cih. Kau ngambek?" Levi berbalik lagi, menghampiri (Y/N).

"Nggak."

"Kau ngambek."

Tidak ada jawaban. Nampaknya Levi benar, sejak dirinya tahu kalau kekasihnya itu pembohong yang sangat buruk.

"Kekanakan sekali."

"Habisnya~"

"Iya, iya, bawel. Ayo kita makan ramen."

"Kau yang bayar, ya?"

"Iya. Aku yang bayar. Tapi makan siang hari sabtu nanti, kau yang bayar."

"Makan siang? Hari sabtu?"

"Iya."

"Apaan, deh? Memangnya kita ada janji kencan?"

"Nggak mau kencan?"

"Jadi, kau akhirnya ngajak aku kencan duluan?"

"Iya. Kenapa?"

Gemas, (Y/N) mencubit pipi anak laki-laki itu. "Manisnya~ Oke, deh! Sabtu nanti aku yang traktir~"

"Iya."

SNK x Reader Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang