E P I L O G

2 0 0
                                    

Andin terus saja melirik ponselnya. Berharap orang yang dia tunggu segera datang atau setidaknya membalas pesan yang dia kirim 2 jam lalu. Andin kesal. Dia sudah terlalu lama menunggu seorang Chandra.

Beberapa jam yang lalu, Chandra menyuruhnya bersiap untuk makan malam di luar, dan Chandra pamit keluar sebentar. Garis bawahi itu, sebentar. Tetapi sudah lebih dari 2 jam Andin menunggu Chandra pulang, sampai sekarang dia belum pulang, dihubungi pun tak diangkat. Dan saking kesalnya, dia tidak kepikiran untuk menghubungi dua teman Chandra yang sekarang sedang sibuk dengan dunianya.

"Gimana? Si Chandra udah dateng?" tanya seseorang di sebrang sana.

"Beluuum, aku capek nungguinnya, Zura ... mau masak, lagi males. Beli keluar, juga males, ish," rengek Andin pada Azura. Ya, karena lelah menunggu kedatangan Chandra, Andin memutuskan untuk menelepon dan bertanya pada Azura.

"Dih, tinggal pesen aja, apa susahnya?" usul Azura yang sangat masuk akal.

"Haish, gimana, sih? Gak peka banget jadi orang. Andin mau makan bareng sama Chandra!"

"Aduh, aduh. Terserah, deh. Gue mules, gak bakal bawa HP. Di kamer mandi gue gak ada sinyal, bye." Pip. Dan setelah itu Azura mematikan panggilannya, mungkin terburu-buru, sudah di ujung tanduk.

Andin mulai terisak pelan. Bingung ingin melakukan apa. Menelpon Dara, pasti sarannya akan sama dengan apa yang Azura katakan. Menghubungi Chandra pun rasanya percuma.

"Ish, kemana, sih. Aku udah lapeeer," rengek Andin entah pada siapa sembari memukul-mukul sofa dengan gemasnya, membayangkan jika sofa itu adalah wajah Chandra.

Karena lelah menunggu, tak terasa Andin mulai terlelap memasuki alam mimpinya.

Di tempat lain, masih di sekitar bumi ....

"Sun, duh ... gimana, ya, ngomongnya ...." Chandra menggaruk pelipisnya dengan mata yang bergerak gelisah ke kanan dan ke kiri. Membuat Sunan dan Raden jengah melihatnya. Chandra menghubungi Sunan dan berkata ingin berbicara penting dengannya, jadi Sunan menyuruh Chandra datang ke rumahnya karena kebetulan ada Raden juga di sana. Beberapa menit yang lalu, Chandra sudah datang dan selalu saja meragu ingin berkata apa, membuat Raden dan Sunan gemas dengan tingkah menjijikannya.

"Mau ngomong apa?"

"Iya, dih. Lama banget, kaya cewek aja, lo. Ribet!"

Chandra menyipitkan matanya ke arah Raden dengan tatapan memperingati. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Sunan. Menghela napas pelan sebelum memulai berbicara, "Makasih dan maaf. Makasih karena udah sering bantu gue dan maaf karena selalu ngerepotin lo, ganggu waktu lo karena. Gue gak bermaksud manfaatin lo buat kepentingan gue sendiri, makasih buat semuanya. Gue bingung ngomongnya gimana, akh, intinya gitu, deh."

Chandra memejamkan matanya erat. Kenapa sulit sekali hanya untuk meminta maaf dan berterima kasih pada seorang Sunan? Rasanya ... menggelikan.

Sunan menaikkan sebelah alisnya bingung, sedangkan Raden sedari tadi membekap mulutnya menahan suara tawa menggelegar yang mendesak untuk keluar.

"Demi apa? Ngomong gitu doang pake dipikirin se-abad. Tinggal langsung aja ngomong," ucap Raden dan setelahnya tertawa terbahak-bahak. Apalagi melihat ekspresi wajah Chandra memasam. Kodok beranak tujuh saja tidak seperti itu ekspresinya.

"Berisik, lo!"

"Santai aja, gak ada salahnya bantu temen yang bego masalah perasaan perempuan. Sesuatu yang bermanfaat gak akan pernah bermanfaat kalau gak dimanfaatin, right?" Sunan tersenyum tipis melihat wajah kedua temannya yang benar-benar seperti orang bodoh, idiot. Sunan tak bermaksud mengatai, dia hanya berbicara, fakta.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

WATER-LILY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang