Tak ada yang mengeluarkan suara, semuanya diam dan sibuk dengan kegiatan dan pikirannya masing-masing. Hanya terdengar suara perang yang sedang berlangsung di dapur kantin tak jauh dari tempat mereka duduk dan suara pulpen yang bergesekan dengan buku.
"Aku ke kelas aja, ya," ucap Andin memecah keheningan dalam lingkaran itu, merasa bosan berada di antara ketiga cowok yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Sunan yang sibuk memainkan ponselnya–entah sedang berbuat apa, sedangkan Raden dan Chandra sibuk mengerjakan tugas sekolahnya dengan terburu-buru mengejar waktu. Ah, lebih tepatnya menyalin tugas yang sudah Sunan kerjakan pada buku mereka. Untung Sunan sedang jinak, jadi tak mempermasalahkan saat tugasnya disalin oleh dua kucrut ini.
Hari masih pagi, bahkan ibu kantin baru selesai memasak apa yang akan mereka perjualkan, dan Andin harus terjebak bersama ketiga lelaki ini. Pagi-pagi sekali, Chandra memaksa agar cepat berangkat sekolah karena dia lupa belum mengerjakan tugasnya, padahal tugas itu sudah diberikan minggu lalu.
"Jangan, kelas masih sepi. Di sini aja, tunggu aku. Sebentar lagi selesai, kok," sahut Chandra dengan mata yang fokus menatap buku Sunan dan bukunya secara bergantian.
"Kenapa gak ngerjain lebih awal aja, sih? Lain kali tugas sekolah itu dikerjain di rumah," ucap Andin kesal dengan kebiasaan Chandra yang satu ini.
"Lupa."
"Demi kodok beranak tujuh! Tugas sekolah itu dikerjain di sekolah, Cantik. Masa tugas sekolah dikerjainnya di rumah, gak etis banget," ceplos Raden asal setelah menyelesaikan tulisan tugasnya. Menyugar rambut ke belakang dan memakan siomay milik Sunan yang kebetulan menganggur karena si empunya sedang sibuk memainkan ponsel.
"Ih, pemikiran yang kaya gini, nih, yang buat negara Indonesia gak maju-maju!" ucap Andin mulai tersulut perkataan Raden. Apalagi melihat wajahnya yang tamparable.
"Kenapa harus maju? Emang gak bisa diem di tempat aja? Emangnya Indonesia itu lo, apa? Gak bisa diem, pecicilan!" balas Raden tersenyum menyebalkan. Rasanya, sudah cukup lama juga Raden tak menjahili Andin seperti ini, apalagi tingkah pawangnya yang semakin hari semakin posesif.
"Ya Allah ... Andin berdoa, semoga produk yang otaknya kaya Raden ini gak diproduksi lagi, ya Allah. Banyak-banyakin aja cetak otak yang kaya Sunan. Lebih bermanfaat buat dunia, ya Allah," ucap Andin berdoa sembari menutup matanya dengan khidmat, menghayati doa yang dia panjatkan.
"Heh! Semprul! Lo kira otak gue radio buluk yang gagal diproduksi?! Itu mulut atau jarum suntik? Tajem amat, sampe nembus ke daging-daging." Raden memasang wajah sedih saat mengatakan kalimat terakhirnya itu, sengaja.
"Eh, maaf. Andin gak maksud gitu, maaf Raden. Abisnya bosen duduk diem di sini aja, gak ada temen ngobrol," ucap Andin memelas melengkungkan bibirnya kebawah. Chandra yang mendengar keributan dua orang itu mendengus kesal, tahu jika Raden sedang mengerjai istrinya yang polos. Ah, istri? Chandra merasa malu mengingatnya. Rasanya, mereka masih terlalu muda untuk menjalin ikatan se-sakral ini. Entah apa yang akan terjadi kedepannya, Chandra harap mereka berdua bisa melaluinya bersama. Menggelengkan kepalanya pelan, Chandra mulai menyimak keributan yang ada di dekatnya.
Berhasil. Andin itu orangnya gampang merasa bersalah, dibilang gitu aja langsung manyun. "Enggak papa, gue udah biasa Ndin digituin sama lo. Santai aja," lirih Raden dengan kepala yang menunduk ke bawah, saat matanya tak sengaja melihat uang di bawah sana. Sepertinya uang Sunan yang tak sengaja terjatuh. Gagal fokus.
Tingkah Raden itu membuat Andin semakin tak enak hati. Dia mengira Raden menunduk sedih karena ucapannya barusan. Dia merasa menyesal, kenapa harus membawa-bawa otak? Kepribadian seseorang seperti Raden harusnya tidak boleh ia pertanyakan.
Saat Raden menunduk hendak mengambil uang itu, tiba-tiba bel masuk berbunyi, mengagetkan orang-orang yang ada di sana. Saking fokusnya dengan kegiatan masing-masing, mereka tidak melihat keadaan sekeliling yang sudah cukup ramai dan sekarang mulai sepi lagi, berhamburan menuju kelas mereka. Sebelum Pak Tono—pengawas siswa yang tidak tertib masuk ke kelas—datang dan memberikan hukuman yang cukup mantap untuk mereka yang tidak tertib. Sudah beberapa kali Chandra, Raden, dan Sunan tertangkap basah oleh Pak Tono saat sedang membolos. Namun, sepertinya hal itu tidak memberikan mereka efek jera. Tetap saja nakal, kecuali Sunan, masih bisa dimaklumi.
"Ayo, aku antar ke kelas." Chandra bangkit dari duduknya dan mendekati Andin untuk membawanya pergi dari kantin sebelum kedatangan Pak Tono. Chandra tak ingin Andin terkena masalah hanya karena menunggunya mengerjakan tugas. Sebenarnya Chandra bisa saja menyalin tugas Sunan di kelas. Namun, itu bukanlah pilihan yang tepat. Pasti teman-temannya yang lain akan datang dan berebut buku penyelamat itu. Hal itu pernah terjadi, dan berakhir dengan buku Sunan yang robek mengenaskan.
"Tapi Raden gimana?" tanya Andin merasa bersalah, terlihat jelas dari ekspresi wajahnya yang menyendu.
Chandra mendengus pelan, ternyata dikerjai orang itu rasanya sangat menyebalkan. Lihat saja, yang sedang dikhawatirkan malah sedang merengek pada Sunan karena ketahuan mengambil uangnya yang jatuh dan hendak dimasukkan ke dalam saku bajunya begitu saja, benar-benar.
Dulu Chandra selalu menjadi partner Raden dalam hal mengerjai kaum hawa dan hal menyebalkan lainnya, tapi sekarang, mulai tobat.
"Gak papa, nanti lagi, ya. Kamu mau dihukum gara-gara telat masuk kelas?"
Melihat sekilas pada Raden yang masih dengan kegiatannya tadi, Andin pun mengangguk pelan. Bangkit dari duduknya dan berjalan beriringan dengan Chandra. Lorong sekolah sudah mulai sepi, karena pastinya pembelajaran sudah dimulai. Chandra meringis pelan, menyesal karena melupakan tugas yang cukup banyak itu dan berakhir seperti ini.
Sesampainya di depan kelas, Andin memberhentikan langkahnya.
"Kenapa?"
"Ih, liat. Udah ada guru," cicit Andin mengintip dari balik tembok. Menarik lengan Chandra, membawanya untuk bersembunyi di balik pintu.
"Loh, kenapa? Ada aku, kan."
"Gak ngaruh. Yang ada malah tambah dimarahin, kamu, kan, nakal."
"Eits, nakal-nakal gini suami kamu, loh. Ayok, ah," ajak Chandra membawa Andin masuk ke dalam kelas, membuat Andin meringis pelan dan berjalan dengan ogah-ogahan.
Tatapan seluruh penghuni kelas tertuju pada mereka, terutama Pak Irwan yang sedang berdiri tak jauh dari mereka berdua. Banyak murid-murid yang menghela napas lega, setidaknya dengan kehadiran mereka, pelajaran jadi sedikit tertunda dan diganti dengan sebuah drama.
"Kenapa telat?" tanya Pak Irwan menyipitkan matanya ke arah Andin. Membuat Andin bersembunyi di belakang tubuh Chandra, bak anak itik yang mencari perlindungan ibunya.
"Jangan galak-galak, Pak. Anak saya jadi takut."
"Diam! Kamu sendiri ngapain? Bukannya masuk ke kelas malah nyasar ke sini, sana keluar!" ucap Pak Irwan mengalihkan pandangannya pada Chandra yang terlihat santai-santai saja.
"Gimana, sih, Pak? Tadi disuruh masuk ke kelas, tapi nyuruh keluar juga. Mau Bapak apa? Aku gak ngerti." Chandra menimpali dengan wajah dibuat sepolos mungkin. Membuat mereka yang menyaksikannya ingin muntah seketika. Iya, sih, ganteng, banget malah. Tapi kalau mukanya kaya gitu, kan, jadi pengen nampol.
"Stop! Astaghfirullah, mimpi apa gue semalem. Jadi mau kamu apa?" tanya Pak Irwan mencoba mengalah pada muridnya yang satu ini.
"Kita udah ada di sekolah dari tadi pagi, Pak. Tapi kebablasan di kantin dan lupa masuk kelas, jadi telat deh. Andin-nya suruh masuk aja, ya, Pak. Kasian, capek."
Pak Irwan memijat pelipisnya dan berkacak pinggang. "Udah? Sekarang kamu keluar. Andin, duduk di tempat kamu," titah Pak Irwan dan kembali ke singgasananya untuk meneguk sebotol teh pucuk. Cukup melelahkan berbicara dengan seorang Chandra, pikirnya.
Sesuai perintah Pak Irwan, Andin berjalan ke tempat duduknya dan tersenyum manis pada Chandra yang masih dalam posisi yang serupa.
"Cukup sekian kehadiran saya di pagi hari ini, semoga kita bisa bertemu dilain waktu, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
💮💮💮
KAMU SEDANG MEMBACA
WATER-LILY ✔
Novela Juvenil"Kamu bisa menjadi laksana bunga teratai, yang tinggal di air yang kotor namun tetap mengagumkan". -Unknown (to Andin) ______________________________________________________________ Andini, sahabat kecil yang selalu dia jahili. Sahabatnya yang sel...