Damar memimpin pejuang ke arah selatan setelah solat subuh, tentu Nindita sibuk menyiapkan ke perluan sang ayah. "Bopo berangkat kamu jaga diri di rumah." Damar memeluk Nindita kemudian mengecup kening sang anak lalu berangkat.
"Nggih, Bopo." Nindita mengangguk patuh tapi sebenarnya ia sudah siapkan rencana untuk pergi dalam rombongan sang ayah secara diam-diam.
Nindita memohon doa selama perjalan agar ia tak di ketahui oleh sang ayah jika ia mengikutinya, belum sampai rombongan itu di tempat tujuan tetapi pasukan yang di pimpin oleh Fredrick lebih dulu mencegat mereka.
"Semua berlindung!!" ucap salah satunya, Belanda menembaki pelurunya secara tak henti ke setiap arah membuat sebagian pejuang gugur. Tapi ada Belanda yang terluka oleh lemparan bambu runcing dari Ardi seorang pria yang menyukai Nindita.
Nindita juga ikut bersembunyi di balik pohon yang besar dia memantau sang ayah dari jauh yang sepertinya terdesak, "Damar ayo kita pergi!!" ajak salah satu temannya. "Kalian pergi dulu selamatkan diri, aku akan menyelamatkan pejuang yang lain."
Pejuang itu malah berusaha ke markas Belanda dengan sisa beberapa orang, sedangkan Damar berpesan pada Ardi jika dirinya tewas dalam perang ini dia menitipkan Nindita padanya. "Aku akan menarik perhatian, jika saya tiada. Saya minta padamu untuk menjaga Nindita."
Ardi mengangguk ia pergi bersama sisa pejuang lain untuk ke markas Belanda, tapi karena kondisi Damar yang saat itu di penuhi luka dan darah jadi ia terkulai pasrah.
"Letnan ini yang namanya Damar." Salah satu tentara Belanda dengan paras Pribumi berbicara pada Fredrick.
Fredrick turun dari mobil yang di belakangnya terdapat bendera merah, putih, dan biru. "Damar...," ucap Fredrick tersenyum menang.
Damar tahu ini ajalnya ia mengucapkan dua kalimat syahadat sebelum Frederick melepaskan pelatuk pistol untuk di lepaskan ke arah Damar. "Terima kematian je," ujar Fredrick sambil ingin mengarahkan pistol pada Damar dan saat itu Nindita keluar dari tempat persembunyiannya berlari ke arah Fredrick.
"Menner, berhenti!!" teriak Nindita membuat Fredrick juga beberapa tentara belanda melihat seorang gadis pribumi berjalan ke arah mereka.
"Ni-dita, per-gi. Per-gi nduk." Damar melihat putrinya terduduk sambil memangku kepalanya di pahanya.
"Hai, perempuan siapa je?!" maki Fredrick.
"Tunggu je yang menabrak ik waktu itu!!" maki Fredrick yang masih mengingatnya.
"Tolong Menner jangan bunuh Bopoku."
Nindita bersipuh di depan Fredrick sambil menyatukan kedua tangannya tetapi Damar berusaha menyuruh Nindita kabur.
"Oh, kalo begitu apa yang akan je berikan??" tanya Fredrick memandang Nindita dengan tatapan liar.
Nindita hanya menagis sambil memohon ia tak bisa apa-apa lagi. "Baiklah ik hanya minta satu hal...," Nindita berani menengadah menatap mata biru milik Fredrick yang seperti laut. Pria Belanda itu mendekat menyamai Nindita kemudian mengakat dagunya ia memperhatikan gadis berkulit sawo matang itu dengan senyum mesum.
"Jadilah gundik untuk ik...," ucap Fredrick tersenyum menatap wajah Nindita yang di penuhi linangan air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
1930-1945
Historical Fictionkisah karangan yang diambil dari tahun 1930 sampai 1945 tentang fredrick van berg perwira asal Belanda yang mencintai gundiknya Nindita kuworo. tanpa di sadari dari hasil hubungannya dengan Nindita. Fredrick di karunia seorang putri karena tak mau...