Bab 2

348 26 3
                                    

1 tahun 2 bulan kemudian

Sebuah kapal berlabuh di pelabuhan sundan kelapa banyak orang eropa turun dari kapal menyapa keluarga dan kerabat mereka. Fredrick turun dari kapal kemudian di dekati oleh seorang pria pribumi.

"Apa benar anda Letnan van berg?" tanya pria berparas inlander itu.

"Jaa." Jawab Fredrick singkat karena tak terlalu suka berbasa-basi apalagi dengan inlander.

"Saya akan mengantar anda ke rumah dinas di batavia." Ujarnya.

"Kalo begitu cepat jangan lambat." Ucap Fredrick dengan ketus.

Pria pribumi itu hanya menganggukan kepala tanda mengiyakan majikan barunya yang seperti kurang bersahabat.

----

Nindita pagi ini harus merawat luka ayahnya yang berada di kaki, "bopo kok bisa terluka?" Tanya Nindita pada ayahnya. Tangannya sibuk menumbuk rempah untuk obat yang akan ia berikan pada ayahnya.

"Ini pasti ulah londo lagi!!" Nindita dengan kesal menumbuk obat yang akan ia berikan pada ayahnya.

"Sudahlah cahyu, sekarang obatin Bopo." Ucap Damar kepada putri semata wayangnya. Nindita dengan sabar merawat luka ayahnya ia mengolesi secara halus.

"Besok pagi sesudah baikan bopo mau ke ladang." Ucap Damar.

"Jangan dulu bopo 'kan masih sakit." Cegah Nindita.

"Tak apa kasihan tanaman kita jika tak ada yang merawat." Ucap Damar.

Nindita hanya menghelai nafas lelah lantaran sikap ayahnya yang keras kepala, "yaudah aku mau ke pasar naruh makanan ke warung-warung dekat pasar." Ucap Nindita sambil membawa bakul yang terbuat dari anyaman bambu.

"Sing hati-hati, Jaga diri."

"Inggih, Pak."

Nindita berjalan di jalan ini banyak para pejalan kaki, orang bersepeda, tak lupa para Nyai sambil mengandeng anak mereka. 'Aku ora sudi di jadikan Nyai, ama wong Londo.' Batin Nindita sambil membawa barangnya menuju pasar. 

Di pasar para pedagang Pribumi menjajakan barang dagangannya, "Mbok Dijah!" Nindita melihat Mbo Dijah sambil mengunyah sirih.

"Eh, Cahayu mau menaruh nasi uduk lagi?"

"Inggih Mbok." Nindita menaruh bakul yang berisi nasi dan masakan buatannya.

"Nduk, kamu pintar memasak dagangan kemarin laku keras."

Nindita tersenyum. Mbok Dijah masih setia mengunyah sirihnya, Nindita melihat seorang pria Eropa bertubuh gempal yang sepertinya usianya sudah 40 tahunan. mendekat ke arahnya.

"Yaudah Mbok saya permisi kasihan Bopoku gak ada yang menjaga dia sedang sakit."

"Hati-hati cahayu...," Mbo Dijah melihat Nindita terburu-buru sepertinya takut dengan Tuan Garrelt si Menner tua yang  memiliki tiga Gundik.

#Bersambung.

1930-1945Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang