Bab 6

308 24 2
                                    


Harap baca peringatan dulu, di Bab ini mengandung konten Dewasa.

"Jadilah gundik untuk ik...," ucap Fredrick tersenyum menatap wajah Nindita yang di penuhi linangan air mata.

Nindita hanya membulatkan matanya ia menatap pria belanda berambut pirang di depannya dengan amarah, "Menner mintalah yang lain selain itu, aku akan bekerja sebagai kacung di rumah anda tanpa upah." Nindita memohon pada pria Belanda itu.

"Cih membuang waktu." Fredrick mengarahkan pistolnya ke arah Damar sebelum pelatuknya di tarik Nindita berkata denga lirih.

"Baiklah aku bersedia...," ucap Nindita dengan lirih.

Fredrick tersenyum kemudian ia menarik Nindita bangun dan membiarkan Damar sekarat. "Pilihan yang bijak, Lieve." Fredrick menarik tangan Nindita untuk memberi isyarat jika ia harus ikut. 

"Nanti biar dia di urus oleh anak buah punya ik. Je sekarang ikut dengan ik." Nindita bangun Damar hanya mengelengkan kepala memberi isyarat jika jangan lakukan itu.

"Nduk, jangan!" ucap Damar seorang ayah yang tidak rela anaknya di jadikan gundik oleh orang kulit putih.

Nindita yang polos mengikuti ucapan Fredrick, gadis itu membiarkan Fredrick memeluk pinggangnya untuk menuntunya ke mobil. Pria Belanda itu ingkar janji malah membiarkan Damar sekarat di tengah hutan, setelah ke pergian mobil para Belanda ternyata ada seorang wanita setegah baya yang dari tadi melihat kejadian itu berjalan ke arahnya sambil membawa kayu bakar ia membantu Damar dengan memapahnya ke rumah gubuk yang tak jauh dari area itu.

#####

Di mobil dengan model terbuka Nindita hanya diam sesekali ia melihat ke samping untuk memperhatikan Frederick, tapi ia malah memalingkan wajahnya lagi. Nindita berkulit sawo matang dengan mata bulat dan lebar yang memperlihatkan warna mata hitamnya secantik malam.

"Mau kemana kita?" tanya Nindita berusaha membuka pembicaraan.

Tetapi malah di acuhkan oleh Fredrick, Nindita melihat ke depan melihat orang-orang berjalan ia lebih memperhatikan seorang Nyai bersama anaknya. 'Aku melanggar janji pada diriku dengan menyerahkan diriku sendiri.'  Nindita membatin juga tak hentinya air mata mengalir membasahi pipinya yang berkulit sawo matang.

"Turun." Fredrick berhenti di sebuah rumah kecil tapi memiliki halaman yang luas ia juga memiliki beberapa kacung. 

"Ini rumah kau?" Nindita yang masih memakai kebaya biasa dan kain batik ia berjalan mundur saat Frederick berjalan mendekati dirinya, sampai pria bermata biru itu berhasil memojokannya di depan teras rumah. 

"Apa yang harus saya lakukan?" tanya Nindita dengan polos. Frederick tersenyum mesum sambil menatap gadis pribumi bermata indah ini, tanpa basa-basi ia langsung mengendong tubuh mungil Nindita yang membuat kedua tangan Nindita mengalung di leher pria ini karena terlalu takut gadis berkulit matang itu memalingkan wajahnya.

Nindita mengerti ini adalah hari terakhir dirinya menjadi seorang gadis seutuhnya, saat Fredrick menidurkan dirinya di ranjang empat tiang Nindita berharap ini hanya mimpi buruk tapi ini adalah nyata. Gadis itu memejamkan matanya berharap ini cepat selesai, ia merasakan tubuhnya tanpa busana di tindih oleh Fredrick.

"AAAA!!! Sakit!!" teriak Nindita membuat Fredrick kebingungan pasalnya ia belum pernah menyentuh perawan selama ini.

"Je tahan nanti rasa sakit akan berkurang...," ucap Fredrick sambil terus memacu dalam tubuh Nindita sampai ia melepaskan semuanya. 

Setelah menyalurkan hasratnya ia berguling ke samping sebelah Nindita, gadis pribumi malang itu memiringkan tubuhnya ke samping sambil mengeluarkan isak tangis meratapi hidupnya juga mengingkari janjinaya sendiri.

"Je amat manis Nindita." Fredrick berbisik pada Nindita yang membelakanginya.

#Bersambung


1930-1945Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang