Bab 10

290 20 2
                                    

Siang ini di Batavia amatlah panas tapi hal itu tak di hiraukan oleh para pribumi yang sibuk bekerja, tak lupa para Nyai dengan anak hasil gundiknya mengandeng sambil berbelanja dengan di kawal para kacung bertubuh kurus. Nindita menikmati pemandangan siang ini karena hari ini ia sudah mendapatkan izin dari Fredrick jika Nindita ingin mengelilingi Batavia.

Nindita jarang ke kota apalagi Batavia, gadis itu penasaran seperti apa Batavia dan ternyata kota ini tak seperti yang di bicarakan gadis-gadis pribumi yaitu teman-temannya saat itu mereka mengaku baru berdagang dari Batavia. 

"Panas banget, Mbok." Nindita bicara pada Mbok Munah. 

"Lebih baik kita pulang, Nyi." Jeda "Ini biar belanjaan 

Nindita tinggal di desa yang artinya udara masih terasa sejuk dan masih banyak pepohonan. Nindita menaiki trem untuk sampai ke persimpangan jalan yang mana rumah dinas milik Fredrick Van Berg ia berjalan. 

"Mbok, ini biar saya bawa setengahnya saja...," ucap Nindita dengan hati yang tak tega melihat Munah wanita yang sudah tua, membawa banyak barang kebutuhan dapur.

"Nyai tak usah nanti say---"

"Inggih, Mbok saya paham nanti soal Sinyo biar saja saya." Nindita mengambil setengah barangnya untuk berjalan sampai ke rumah, Nindita berfikir apa mungkin nanti anaknya akan seperti yang ia lihat. Anak-anak dari Nyai yang selama di jalan ia melihatnya.

Sesampainya di rumah ada teman Fredrick yang berseragam lengkap dengan lencana sedang duduk di kursi kayu sambil menyalakan cerutu lalu menyembulkan asap ke udara. Baru beberapa langkah Nindita masuk pekarangan rumah yang luas tiba-tiba teman Fredrick memanggilnya.

"Hai je!!"panggil temannya Fredrick yang bernama Robert  dengan tangannya.

Nindita menghampiri Robert kemudian menanyakan. 

"Inggih, Sinyo...," Nindita menunduk kemudian gadis itu di suruh menyiapkan teh juga camilan.

Nindita menyanggupi segera dia ke dapur untuk menyiapkan yang di suruh oleh Robert, "Nyai...ini tehnya biar saya saja, lebih baik Nyai istirahat saja." Mbok Munah bicara sambil mengambil alih nampan antik itu.

"Matur Nuwun, Mbok." Nindita tersenyum.

Nindita bukanlah seorang yang pemalas meskipun ia sudah menjadi Nyai, gadis berkulit coklat itu mencuci pakaian di dekat sumur yang terletak di belakang rumah. Pada masa itu sangat jarang rumah yang memiliki sumur jadi jika rumah yang memiliki sumur biasanya hanya  rumah orang kaya atau Tuan Belanda saja.

Gadis itu mencuci pakaian dengan santainya setelah selesai ia segera menjemur pakaian-pakaian itu, Nindita yang sedang menjemur pakaian tanpa sadar ada sepasang tangan yang melingkari pinggangnya yang ramping dan dagu menyandar di bahu kanannya. 

"Sinyo...tolong jangan seperti ini, karena ada sahabat Sinyo...," ucap Nindita yang sebenarnya merasa tak nyaman dengan keadaan seperti itu.

"Ik tak suka di panggil seperti itu, Lieve."

"Munah!!!" Panggil Fredrick.

Mbok Munnah tergopoh-gopoh menghampiri suara itu. "Inggih, Nyo." 

"Je jemurkan pakaian, biar ik ada perlu dengan...Nyai," ucap Fredrick melihat Nindita seolah ingin melahapnya.

Fredrick mendekati Nindita, kemudian ia mengendong tubuh gadis itu. "Sinyo...," ujar Nindita.

"Ayo, Liefste ik sudah merasakan ini." Nindita pasrah dengan kedua tangan yang mengalung pada leher Fredrick. 

Fredrick menjatuhkan tubuh Nindita di atas kasur empat tiang untuk memenuhi kebutuhan biologisnya sampai sang senja mengahiri pergumulan diantara keduanya dengan peluh membasahi tubuh mereka.

 Fredrick menyingkir dari tindihan tubuh Nindita dia menyelimuti tubuh polos Nindita dengan selimut tipis, kemudian memberikan kecupan pada area bahu gadis itu. Nindita hanya diam menatap Fredrick yang belakangan ini bersikap berubah-ubah kadang bersikap lembut dan manis, juga kadang bersikap kasar dan pemarah.

 Kali ini Nindita merasa nyaman dan menikmati saat melakukan hubungan intim bersama tuan Belandanya tak seperti biasa ia selalu berakhir dengan hati yang perih dan airmata. Fredrick memeluk tubuh Nindita yang tanpa sehelai benang ke dadanya dengan cahaya senja matahari yang masuk ke dalam celah jendela menyaksikan pergumulan mereka berdua.

#Bersambung


1930-1945Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang