Bab 21

134 14 2
                                    

9 Tahun Kemudian.

Pagi ini seorang anak perempuan berusia sembilan tahun tengah bermain dengan saudara laki-lakinya, kedua anak ini berparas berbeda tapi mereka juga saling menyanyanggi satu sama lain meski keduanya kerap tak adil dalam mendapatkan kasih sayang.

"Mbak yu awas," ujar Panji adik Melati.

Tubuh gadis berdarah setengah Eropa itu langsung di terjang oleh Panji karena di lindungi dari ranting jatuh, kaki anak berusia delapan tahun itu berdarah karena terkena ujung ranting pohon yang tajam.

"Ya ampun Panji!" jerit Melati melihat saudara setengah kandungnya terluka.

"Sebentar tak bantu kowe," ucap Melati memapah saudaranya menuju rumah.

Sesampainya di rumah, "Bapak! ibu! tolong Panji!" ujar Melati sambil memapah tubuh Panji.

"Astagfirullah Panji," jerit Nindita yang baru saja menurunkan barang-barang suaminya dari sado.

"Apa yang terjadi, Ngger?" tanya Nindita khawatir.

"Tadi Mbak yu hampir tertimpa ranting, Bu."

Mendengar itu Melati mundur tiga langkah sampai tubuhnya menyandar ke tembok anyaman bambu, Nindita yang mendengar itu semua menatap Melati dengan tajam lalu mengakat tangannya untuk menampar gadis berwajah setengah Belanda itu.

PLAK!

Tamparan itu menggema di sore hari sertai tangis anak malang itu, "kowe ya cari masalah lagi!! belum puas karena kowe kita menanggung malu!!" maki Nindita.

"Ibu tolong jangan, kasian Mbak yu." Panji membela kakak tirinya yang berperawakan Eropa, tangan Nindita langsung menarik rambut kepang milik anak malang itu.

"Dengar! adikmu membelamu!!" maki Nindita lalu mendorong tubuh melati sampai kepalanya terbentur meja kayu.

"Ayo ngger, kita obatin lukamu." Nindita menarik putranya yang hasil buah cintanya dengan Adi, mendengar itu Melati tak berani mendekat apalagi bicara kepada ibunya.

Nindita melupakan Melati karena gadis pribumi itu menganggap Melati adalah gadis pembawa bala, semenjak kelahiran Melati keluarganya selalu di gunjing oleh penduduk dan menganggap Nindita menjual diri kepada Belanda.

Melati dengan kepala yang berputar-putar mengambil kain yang di basahi dengan air lalu menyeka lukanya karena ia tak berani meminta obat dari ibunya takut semakin di marahi, mata birunya menatap ke cermin untuk menyeka lukanya di kening sebelah kanan.

Bayangkan seorang anak berumur sembilan tahun sudah mengalami hal demikian, Melati yang tak mau mencari masalah lagi memilih tertidur di bale bambu samping kamar orangtuanya daripada dirinya malah semakin di maki oleh Nindita.

Di kamar Nindita menidurkan Panji dengan penuh kasih, kakinya di obati dengan kunyit, kunir, dan lidah buaya di tumbuk lalu di tempelkan agar lukanya cepat kering. Setelah Panji tidur Nindita juga tidur di sebelah putranya.

Pukul tengah malam Panji bangun untuk meninggalkan ibunya ia mengambil mangkuk kayu yang berisi sisa obat racikan rempah yang untuk mengobatinya, berjalan tertatih menuju ruang depan memberikan sisa obat kepada kakaknya.

"Mbak yu," panggil Panji membangunkan kakaknya.

"Panji kowe durung tidur?" tanya Melati, bocah usia delapan tahun itu hanya menggelengkan kepala lalu memberikan sisa obat untuk kakaknya.

"Mbak yu obatin dulu lukanya mumpung ibu lagi tidur," ujar Panji mengobati kening kakaknya.

"Sini wadahnya, yowiss kamu masuk kamar lagi takut ibu marah malem-malem durung tidur." Panji mengangguk lalu masuk ke kamarnya lagi tidur di samping ibunya.

Melati mengambil sisa obatnya lalu mengoles dengan pelan, air mata terus membanjiri wajahnya yang lugu. Dirinya berpikir apa kesalahannya sehingga ibunya amat membencinya.

#Bersambung

1930-1945Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang