Bab 8

278 21 2
                                    

"Kalo gitu je makan dulu." Nindita hanya mengelengkan kepala tanda hanya pasrah tatkala harus menghadapi emosi Tuannya.

Nindita menyendokan nasi ke piringnya ia makan dengan menggunakan tangan, tentu Fredrick yang melihatnya merasa jijik.  Gadis itu makan dengan biasa saja, setelah selesai ia mencuci tangannya dengan air kobokan di baskom. Setelah selesai Nindita pergi untuk ke kamar untuk menata rambutnya seperti gulungan konde kemudian memakai sirkam bentuk daun berwarna emas.

Saat berbalik badan ternyata Fredrick berada di ambang pintu menatapnya, "Si-Sinyo...," ucap Nindita terbata-bata. "Saya---" belum sempat Nindita berkata Fredrick  mencengkram dagunya hanya dengan satu tangan, sontak gadis berkulit coklat itu ketakutan.

"Nindita, beritahu ik dimana je punya Papa menyimpan senjata untuk memberontak." Fredrick menyeringai sambil menatap wajah Nindita yang sudah ada airmata turun ke wajahnya. "Sa-saya, ti-tidak--tahu." Sangat sulit untuk gadis itu bicara lantaran cengkraman di dagunya sangat kuat.

"Uhuk...Uhuk...Uhuk." Nindita terbatuk-batuk lantaran Fredrick melepaskan dagunya dengan kasar. "Sinyo saya memang tidak tahu soal apapun," Aku Nindita. Fredrick mengusap rambutnya ke belakang dengan kasar kemudian ia menarik lengan Nindita. "AAkh...Sinyo Nuwun Sewu," ucap Nindita meminta maaf.

"Argh!!" Fredrick berteriak marah sampai dengan kasar ia melepaskan cengkramannya dari lengan Nindita yang membuat Nindita jatuh tersungkur ke lantai. Nindita dengan posisi duduk dengan tangan di depan menyentuh lantai hanya menunduk sambil mengeluarkan airmatanya.

"Dengar Inlander jika sampai je secara diam-diam berkomplot dengan je punya Vader, ik tak akan segan membunuh je juga Vader Je." Fredrick tanpa kasihan mencengkram dagu gadis berkulit coklat itu.

Kemudian melepaskannya, Fredrick segera pergi meninggalkan Nindita yang masih terduduk di lantai. 'Hiks...hiks...," Nindita menangis tatkala ia di perlakukan kasar oleh Fredrick ini baru sehari ia menjadi gundik Tuan Belanda rasanya amat menderita ini bukan harapannya selama ini.

Tak lama ada wanita setengah baya masuk ke kamar untuk melihat keadaan Nindita, awalnya wanita itu sedang menyapu teras tapi saat mendengar suara teriakan marah dari dalam kamar Tuannya ia segera memeriksanya.

"Ya allah, Nyai." Wanita setengah baya itu mendekati Nindita yang menangis di lantai.

"Nyai kenapa?" tanya Wanita itu yang bernama Mbok Munah.

Nindita hanya mengelengkan kepalanya. "Nyai ojo mikir tentang Sinyo yang tadi," Nindita memeluk Mbok Munah.

"Mbok saya takut karena amukan Sinyo." Nindita menatap Wanita semuran sang ayah seolah ia menatap ibunya. "Kalo Nyai butuh apa-apa, jangan sungkan manggil saya." Nindita menganggukan kepala. 

Mbok Munah hidup sebatang kara setelah anaknya satu-satunya diambil paksa oleh Belanda untuk di jadikan Gundik sama seperti Nindita, jadi gadis berkulit coklat di depannya ini mengingatkannya akan anaknya sama seperti Nindita.

"Inggih, Nyai saya mau ke dapur untuk menyiapkan makan siang."

Nindita hanya menganggukan kepala, gadis itu melihat Mbok Munah seperti sosok sang ibu yang meninggal saat usia 8 tahun.

#Bersambung

1930-1945Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang