35. Tidak Setia

18 8 2
                                    

Bukannya menyambangi satu persatu rumah, gue justru terjebak bersama Risma dan kumpulan ibu-ibu tadi. Diajak mengobrol ngalor-ngidul, bercerita tentang Revita dan lain-lain. Tidak ada yang berminat membeli baju tawaran gue, malahan mereka mau memberi sumbangan atas bangkrutnya butik Revisis namun gue menolak bantuan itu. Kata Mama, sebuah usaha sepenuhnya berasal dari diri sendiri. Bahkan Mama pun tidak mau ada campur tangan dari Papa. Revisis—yang merupakan gabungan nama Revita dan Siska. Secara tidak langsung, gue juga berperan dalam bisnis itu.

Pulang sampai di rumah sekitar jam tiga sore, gue langsung merebahkan diri ke kasur. Rasanya melelahkan sekali. Belum ada lima menit gue memejamkan mata, ponsel yang gue letakkan di samping kepala bergetar beberapa kali menandakan notif pesan.

Dengan mata yang masih menyipit menahan kantuk, gue melihat layar ponsel.

Gemblung (5)

Riski : Ayo ke Caffe Halilintar! Gue traktir nih, terutama lo Tian yang demen makan gratis.

Cungip : Tumben banget si Riski loyal sama kita.

Tian : Roman-romannya ada hal apa nih?

Shafira : Ayo, pada mau gak?

Cungip : Gue kayak mencium aroma kasmaran di sini. Cih!

Tian : Gue mah siap ditraktirin kapan aja.

Cungip : (2)

Shafira : Lo gimana, Sis?

Riski : Bisa ke Caffe Halilintar sekarang gak, Sis?

Mata gue melotot semangat, gue langsung mendudukkan tubuh dengan tegap. Perihal traktiran tidak boleh terlewatkan. Lagian sejak sepulang sekolah gue belum makan sama sekali. Gue segera mengetikkan balasan.

Siska : sepuluh menit lagi gue otw.

Gue kira sudah diperbolehkan memakai motor lagi oleh Revita, ternyata tidak. Revita tetap memaksa gue berangkat diantar Pak Juned saja yang lebih aman. Gue mendengus sebal, cuma karena kesalahan lama tapi Revita selalu mengungkit perihal jambu air milik tetangga yang rusak akibat gue. Walaupun begitu gue tidak bisa mengelak sekeras apapun karena baik gue maupun Revita sama-sama keras kepala.

Sesampainya di Caffe Halilintar, gue menyuruh Pak Juned untuk langsung pulang saja daripada menunggu di sini. Gue menyapu pandangan ke sepenjuru caffe dan menemukan Shafira yang berada di pojok kiri ruangan melambai ke arah gue. Sudah ada Riski, Tian, Cungip dan mungkin satu orang kesasar di sana. Sudah dapat dipastikan, gue orang terakhir yang hadir.

Senyuman orang kesasar itu hanya gue balas sekenanya. Sialnya gue  kebagian tempat duduk disebelah orang itu. Entah disengaja atau memang kebetulan.

“Gak mau tau pokoknya gue pesen makanan yang banyak. Gratisan namanya tetep enggak bayar kan?” ujar gue tanpa tahu malu.

“Iya, Sis. Lo santai aja, lo bisa pesen apapun sepuasnya kok.” jawab Riski.

“Sebetulnya ini traktiran dalam rangka apa sih?” tanya Cungip.

Riski tersenyum lebar kemudian merangkul pundak Shafira yang berada disebelahnya, “Gue udah resmi jadian sama Shafira.”

“Seriusan?!” tanya gue kaget. Pasalnya gue langsung main pergi saja tanpa tahu maksud terselubung Riski mengajak teman-teman ke Caffe Halilintar.

SISKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang